Sabtu, 21 Agustus 2010

Sayyid Aidid dan Maulid Rasulullah Saw. di Kota Palu

Perayaan tradisi maulid di Lembah Palu (Kota Palu, Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah), mulai dikenal sejak Pertengahan Abad Ke 19 atau sekitar tahun 1840-an yang dibawa oleh para saudagar keturunan arab yang berasal dari Cikoang-Makassar (keturunan dari hadramaud) yang mulanya dipelopori oleh beberapa orang diantaranya : Habib Sayyid Bahrullah bin Atiqullah, Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid (di Palu lebih dikenal sebagai “Karaeng”) dan merupakan generasi ke 34 dan 35 yang ber-nasab-kan langsung pada Rasulullah SAW.

Pada awalnya masyarakat lembah palu dipengaruhi oleh tradisi “Palaka” yaitu sebuah tradisi berupa persembahan sesajian bersifat animisme dan politeisme yang berbentuk segi empat. Dengan keberadaan ini, maka para pendahulu pelopor perayaan maulid berusaha mengislamkan masyarakat lembah palu (yang sebelumnya pengislaman lembah palu dilakukan oleh Datokarama) melalui tradisi perayaan maulid sebagai sebuah sarana dakwah bagi siar Islam dan sekaligus mengagungkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dengan jalan membentuk tempat atau sarana mauled berbentuk segi empat seperti Ka’bah dan menggunakan kubah seperti bentuk kubah Masjid, dan dalam pelaksanaannya dilakukan pembacaan pujian-pujian Sarafal A’nam sampai selesai.

Perayaan tradisi maulid pertama kali dilaksanakan di wilayah Kampung Baru yaitu tepatnya di Boyantongo dan Bungi dan awalnya diperkenalkan melalui kerabat-kerabat kerajaan atau Kekuasaan “Adat Patanggota” Lembah Palu, yang kemudian menyebar sampai ke Besusu, Pogego, Vunta (sekarang Tadulako), Talise, Sidondo, Dolo, Biromaru, Tawaeli, Pantoloan dan wilayah-wilayah Lainnya yang berada di Lembah Palu. Bahkan tradisi perayaan Maulid yang sekarang dikenal oleh Masyarakat Kaili sampai menyebar ke wilayah Pantai Timur Kabupaten Parigi Moutong, tepatnya di Kecamatan Parigi dan Kecamatan Ampibabo.

Meskipun perayaan Maulid ala Masyarakat Kaili hingga kini telah berkurang jumlahnya bila dibanding pada periode 70-an, tetapi hingga sekarang ini masih tetap hidup sebagai sebuah tradisi membesarkan hari kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi ini masih tetap dipertahankan oleh para keturunan habib-habib pelopor pendahulu perayaan mauled dan para keturunan murid-murid para habib-habib yang menyebarkan siar Islam tersebut, yang bertebaran di Lembah Palu dan Pantai Timur (wilayah Sulawesi Tengah).

Sebagai sebuah catatan akhir yang terpenting bagi kita semua adalah bagaimana usaha kita membesarkan siar Islam melalui Perayaan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang awal dan akhir zaman yaitu “Sayyidil Awalina wal Akhirina syahadati fiddun ya wamulukil ukhrah”

Sumber : Barahama Lasa Aidid, Abubakar Moh.Amin Aidid, Masyarakat Pengikut Karaeng dalam Perayaan Maulid Kota Palu, dan Keluarga Besar Habib Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al-Aidid Sulawesi Tengah

Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid - Wali keramat Pulang Panggang


Disebelah utara Jakarta terdapat gugusan kepulauan yang terdiri dari 108 pulau kecil, disebut Kepulauan Seribu. Satu diantaranya adalah Pulau Panggang, sekitar 60 km disebelah utara kota Jakarta. Pulau seluas 0,9 hektare itu bisa dicapai dalam waktu kurang lebih tiga jam dengan perahu motor dari pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.

Disanalah Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid, yang juga dikenal sebagai Wali keramat Pulang Panggang. Ia adalah ulama dan muballigh asal Hadramaut yang pertama kali menyebarkan Islam di Pulang Panggang dan sekitarnya. Pada abad ke-18 ia bertandang ke Jawa untuk berda’wah bersama dengan empat kawannya :

1. Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-athas, Kramat Empang Bogor.
2. Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Bondowoso, Surabaya.
3. Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Ampel, Surabaya.
4. Al-Habib Salim Al-Athas, Malaysia.


Al-Maghfurlah Habib Ali ke Batavia, sementara keempat kawannya masing-masing menyebar ke kota-kota dan negeri diatas. Al-Maghfurlah berda’wah dari Pulau Seribu sampai dengan Wilayah Pulau Sumatera yaitu Palembang.

Di Batavia , Almaghfurlah Habib Ali bermukim di Kebon Jeruk dan menikah dengan Syarifah setempat, Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far Al-Habsyi. Dari Perkawinannya itu dikaruniai seorang putera bernama Hasyim bin Ali Aidid.

Suatu hari Almaghfurlah mendengar kabar, disebelah utara Jakarta ada sebuah pulau yang rawan perampokan dan jauh dari da’wah Islam, yaitu Pulau Panggang. Beberapa waktu kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut. Ketika Al-Maghfurlah sampai di Pasar Ikan hendak menyeberang ternyata tidak ada perahu. Maka ia pun bertafakur dan berdo’a kepada Allah SWT, tak lama kemudian muncullah kurang lebih seribu ekor ikan lumba-lumba menghampirinya. Ia lalu menggelar sajadah di atas punggung lumba-lumba tersebut, kemudian ikan lumba-lumba mengiring beliau menuju Pulang Panggang. Demikianlah salah satu karomah Almaghfurlah Habib Ali, menurut cerita dari Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-athas kepada salah satu muridnya Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Alhaddad bahwa setiap Habib Ali hendak berda’wah beliau berdiri ditepi pantai Pasar Ikan dengan mengangkat tangan sambil bermunajat kepada Allah SWT, maka datang ikan lumba-lumba kurang lebih seribu ekor mengiring beliau disamping kanan, kiri, depan, belakang beliau dan mengantar sampai ketempat tujuan untuk berda’wah.

Sosoknya sangat sederhana, cinta kebersamaan, mencintai fakir miskin dan anak yatim. Bisa dimaklumi jika da’wahnya mudah diterima oleh warga Pulau Panggang dan sekitarnya. Ia mengajar dan berda’wah sampai kepelosok pulau. Bahkan sampai ke Palembang, Singapura dan Malaka.

Karomah lainnya, suatu malam, usai berda’wah di Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, ia pulang ke Pulau Panggang. Di tengah laut, perahunya dihadang gerombolan perompak. Tapi, dengan tenang Almaghfurlah Habib Ali melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut. Ajaib, kayu itu berubah menjadi karang, dan perahu-perahu perompak itu tersangkut di karang. Maka, berkat pertolongan Allah SWT itu, Almaghfurlah Habib Ali dan rombongan selamat sampai di rumahnya di Pulau Panggang.

Suatu hari, warga Pulau Panggang diangkut ke Batavia dengan sebuah kapal Belanda, konon untuk dieksekusi. Beberapa perahu kecil berisi penduduk ditarik dengan rantai besi ke arah kapal Belanda yang membuang sauh jauh dari pantai. Mendengar kabar itu, Almaghfurlah Habib Ali menangis, lantas berdo’a agar seluruh penduduk Pulau Panggang diselamatkan . Do’anya dikabulkan oleh Allah SWT. Rantai besi yang digunakan untuk menarik perahu berisi penduduk itu tiba-tiba putus, sehingga Belanda urung membawa penduduk ke Batavia.

Suatu malam, ia mendapat isyarat sebentar lagi ia akan wafat. Ketika itu sebenarnya ia ingin ke Palembang, namun dibatalkan. Dan kepada santrinya ia menyatakan, “ saya tidak jadi ke Palembang.” Benar apa yang ia katakan, keesokan harinya, 20 Zulkaidah 1312 H./1892 M. ia wafat, dan dimakamkan di sebuah kawasan di ujung timur Pulau Panggang.

Sesungguhnya, Jenazah almarhum akan dibawa ke Batavia untuk diketemukan Istri dan anaknya serta dimakamkan disana. Namun, ketika jenazah sudah berada di atas perahu yang sudah berlayar beberapa saat, tiba-tiba tiang layar perahu patah dan perahu terbawa arus kembali ke Pulau Panggang. Hal ini terjadi berturut-turut sampai tiga kali. Akhirnya, penduduk kampung memaknai peristiwa itu sebagai kehendak almarhum di makamkan di Pulau tersebut. Keesokan harinya setelah Almaghfurlah Habib Ali dimakamkan, beberapa orang dari penduduk Pulau Panggang memberi khabar kepada istrinya Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far Al-Habsyi, istrinya menjawab “ Yah, saya sudah tahu, Habib Ali tadi telah datang memberi kabar kepada saya tentang meninggalnya dia dan dimakamkan di Pulau Panggang “.

Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid adalah seorang ulama yang langka, yang berani merintis da’wah di kawasan terpencil, dan berhasil. Demikianlah sekilas dari riwayat Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid.


Habib Husein bin Abdullah Aidid

Habib Husein bin Abdullah Aidid
[Habib Husein bin Abdullah Aidid]
Al Imam Al Alamah Al Arifbillah Husein bin Abdullah bin Hasan bin Ahmad bin Abu bakar Aidid mempunyai keberkahan yang melimpah, keadaannya mastur (tersembunyi), jiwanya bersih, dalam perjalanan hidupnya beliau meninggalkan kenangan yang indah dan beliau seorang yang sangat tinggi derajatnya dengan akhlak yang baik, lembut pergaulannya, mempunyai cahaya batin dan dzahir, Beliau mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan Habib Ali Bin Muhammad Al Habsyi.

Kelahiran, kehidupan dan pendidikannya---
Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid, dilahirkan di kota Ghurof pada tahun 1308 H.

Tatkala umurnya memcapai 9 tahun, beliau pergi ke tarim bersama ibunya mengunjungi rumah pamannya, Habib Muhammad bin Hasan bin Ahmad Aidid seorang yang mulia, yang mempunyai ilmu sangat luas untuk mengajarkan kepada Habib Husein bin Abdullah Aidid dan tinggal bersamanya selama beberapa tahun. kemudian ibunya meminta ijin kepada paman Habib Husein yaitu Habib Muhammad bin Hasan Aidid untuk membawa putranya ke Kota Sewun untuk menuntut ilmu Kepada Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi dan tinggal di Rubatnya yang mana pada saat itu telah banyak yang datang penuntut ilmu dari penjuru kota dan pamannya merestui, maka jadilah Habib Husein bin Abdullah Aidid sebagai pelajar di Rubat tersebut.

Sebagaimana diketahui, bahwa Rubat, Masjid, dan rumah Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi merupakan tempat tinggal para penuntut ilmu dan ulama. Beliau memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Habib Husein Aidid seperti pelajar yang lain.

Setelah Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi wafat (Tahun 1333 H), saudara dari ibu Habib Husein bin Abdullah Aidid menginginkan Habib Husein Aidid untuk tinggal di Kota Madudah dan Habib Husein menyetujuinya, maka pada tahun 1333 H. Beliau Pergi dari Kota Sewun Ke Kota Madudah dan membangun Masjid serta rumah di tempat tersebut. Kemudian membuka Majelis Ta`lim pada hari Senin untuk umum, pada malam Jumat mengadakan Maulid, dan pada malam Kamis hadroh dengan dihadiri banyak orang. Kota Madudah menjadi manfaat atas kehadirannya.

Al-Habib Mustofa Al Muhdor dalam penulisan tentang diri Habib Husein mengatakan bahwa banyak orang yang mendapat petunjuk darinya dan sebagian ada yang mendapat kerugian karena tidak mengikutinya.

Tahun 1360 H, Habib Husein pindah ke Kota Sewun, disebabkan terjadinya pertentangan antara dua kelompok di kota Madudah. Habib Husein pada saat itu berusaha menengahi pertentangan tersebut dan berusaha mempersatukan diantara mereka, akan tetapi mereka menolaknya sehingga terjadi pertumpahan darah, setelah terjadi pertumpahan darah diantara dua kelompok tersebut, mereka sadar, akhirnya mereka mengikuti apa yang telah dianjurkan oleh Habib Husein.

Al-Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid pindah Ke Sewun setelah mendapat isyarat dari Mufti Hadramaut Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, Begitu juga Habib Mustofa Al Muhdor mengatakan kepadanya melalui orang-orang yang mencintainya, bahwa Habib Husein Lebih baik keluar dari kota Madudah. Kemudian Habib Husein tinggal disebelah barat kota Sewun dan membangun Masjid kecil serta rumah.

Pembacaan Maulid yang biasa diadakan Habib Husein di kota Madudah setiap hari Kamis kedua tiap bulan Rajab dipindakan ke kota Sewun dengan dihadiri banyak orang, para ulama, dan orang-orang ahli kebaikan sampai sepanjang hidupnya, kemudian setelah Habib Husein Wafat diteruskan oleh anaknya.

Al-Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid beberapa kali bepergian ke kota Mekah, Madinah, Yaman. Beliau pergi ibadah Haji sebanyak 14 kali dan membangun beberapa Masjid dalam perjalanannya.

Wafat---
Al-Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid terkena sakit yang ringan sebelum wafatnya pada tahun 1379 H di Wadi Aidid. Jenazah beliau dishalatkan di Masjidnya dan di Imami oleh Habib Muhammad bin Hadi Assegaf yang dihadiri oleh banyak Orang.

Kitab Yang Di Karang---

1. Wasoya - 1Jilid
2. As`ilah `Ilmiyah
3. Kalam Mantsur - 2 jilid
4. Diwa'an Syi'ir Jamini
5. Enam kitab Maulid Nabi Muhammad SAW, satu berbentuk pantun, syair, dua berbentuk prosa, tiga lagi masih berupa tulisan tangan (Kitab rawi maulidnya yang dicetak oleh Himpunan Keluarga Maula Aidid adalah Al`ithhrul afkhori Fii Dzikril Habibi Akbar dan Asshifatul Muhammaddiyah)
6. Doa dan Wirid Wirid
7. Khutbah Mimbariyah
8. Shalawat atas Nabi, yang berjudul Assholat Alfaidiyah Fissholat `Ala Khoiril Bariyyah

Habib Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Aidid.


Al-Habib Muhammad bin Hasan bin Ahmad Aidid mempunyai perangai yang terpuji dan mulia juga ilmuwan serta kewalian yang tak mungkin tertulis karena keluasan ilmunya.

Lahir pada malam berkah tanggal 25 Ramadhan tahun 1290 H. di Wadi Aidid, Tarim. Ketika dilahirkan ayahnya berada di Masjid Maula Aidid sedang menghadiri Khatamul Qur'an. Setelah mendengar kelahiran puteranya orang-orang serentak malam itu memukul gendang karena mendengar kabar gembira tersebut. Walaupun ayahnya mempunyai mata yang rabun, tapi beliau sangat gembira dalam hal ini.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mendapat pengasuhan serta pendidikan dari ayahnya, ayahnya sangat memperhatikan tarbiyah kepadanya, sehingga ayahnya banyak dirumah. Ketika berumur 6 tahun, selalu diajak ayahnya duduk di Masjid atau i'tikaf dan jika menemui salah seorang sholihin, ayahnya menyuruh cium tangan kepada orang sholihin tersebut dan meminta do'anya. Begitulah yang sering dilakukan ayahnya terhadapnya, sampai beliau sakit dan akhirnya wafat. Ayahnya wafat tahun 1297 H., sedangkan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid belum genap berumur 7 tahun.

Kemudian ibunya meneruskan pendidikan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengirimnya belajar pada Syekh Abdurahman bin Muhammad bin Sulaiman Bahami di tempatnya Syekh Kutub Abdullah bin Abubakar Alaydrus hingga selesai mempelajari Al-Qur'an. Setelah menanjak dewasa beliau keluar Hadhramaut untuk mencari rezeki, bertemu, duduk dan mengambil ilmu dengan ulama-ulama besar khususnya di daerah Jawa, diantaranya Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, Al-Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad, Al-Habib Muhammad bin Aqil bin Abdullah bin Umar bin yahya dan saudaranya Umar bin Agil bin Yahya, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Husein bin Thahir serta banyak lagi dari ulama-ulama lainnya. Di Tarim diantaranya Al-Habib Abdurahman bin Muhammad Almasyhur yang disebutkan didalam Tuhfatul Mustafid, bahwasanya Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengambil ilmu darinya, selalu bersamanya, menshohibnya (menemaninya), menghadiri pelajaran-pelajaran dan majelis-majelisnya.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mempunyai hubungan erat dengan Al-Alamah Al-Habib Umar bin Hasan bin Abdullah Alhaddad karena sering berkunjung ke Al-Hawi, Tarim dan belajar bermacam-macam ilmu kepadanya sehingga mendapat ijazah darinya. Juga mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa sayyid yang mempunyai keutamaan dan kewalian yang ada pada zaman itu, seperti Sayyid Al-Wali Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Alkaff, Syekh bin Idrus bin Muhammad Alaydrus, Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih, Muhammad bin Abdullah bin Umar bin yahya, Husein bin Umar bin Sahal Maula Dawilah.

Pada awal bulan Muharram tahun 1304 H. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengadakan perjalanan dengan idzin dari guru-gurunya menuju Jawa, sehingga beliau banyak menimba ilmu pada saat berada di Jawa dari ulama-ulama ketika itu. Kemudian awal tahun 1309 H. beliau kembali kenegeri asalnya melalui kota Aden, dan menetap di kota Tarim bersama para ulama-ulama zaman itu seperti Assayyid Al-Alamah Abdurahman bin Muhammad bin Husein Almasyhur hingga wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur tahun 1320 H.

Setelah wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur, beliau berkunjung kedaerah Du'an. Dan di daerah Du'an beliau banyak mengambil ilmu dari guru-guru yang ada di daerag Du'an hingga beliau kembali ke Tarim pada bulan Rajab tahun 1320 H.

Kemudian kembali ke Hadhramaut dan menetap guna memperbanyak ibadah, berkunjung kepada para sholihin atau tempat-tempat yang berkah dan majelis-majelis. Akhir umurnya beliau tinggal di Hadhramaut, mensupport ahli da'wah dalam penyebarannya dan terkadang mengumpulkan mereka dan semua orang terutama ketika terjadi kesusahan, kekeringan untuk membaca hadits Bukhori. Kemudian mengkhususkan bacaan tersebut pada bulan Ramadhan dan 6 hari dibulan Syawwal dan mengkhatamkannya dengan dihadiri pemimpin negeri, ulama-ulama dan orang banyak.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mulai sakit tanggal 21 Muharram 1361 H. hingga wafat pada hari Sabtu 28 Muharram 1361 H. dan dikuburkan pada hari Minggu di Zanbal, Tarim di sholati oleh Al-Habib Abdullah bin Umar bin Ahmad Assyatiri.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid orang yang kasyaf dan mempunyai karomah serta nampak sesuatu pada dirinya faedah-faedah, berita keajaiban dan kelembutannya diantara keajaibannya adalah, tatkala beliau sakit diatas kasur, beliau mengatakan akan waktu meninggalnya, akan banjir di Tarim yang akan mencapai ketinggian sekian. Beliau memberi wasiat agar dimandikan dengan air tersebut karena air tersebut adalah air kautsar. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid sering mengingat air kautsar. Sehingga beliau selalu menyuruh orang yang duduk disekelilingnya agar selalu membaca : " Allahu Nurussamaawaati wal ardh........sampai akhir ayat " , mulai saat itu beliau tidak mau minum dan makan kecuali susu. Al-Habib Muhammad bin Hasan meninggal pada waktu ia tentukan. Itu semua atas ketentuan Allah. Beliau dimandikan dengan air tersebut. Allah merahmatinya dengan rahmat orang yang dekat dengan Allah. Ditempatkan di Syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan semoga Allah memberikan kepada kita manfaatnya dan orang-orang yang sepertinya dari orang-orang yang sholeh. Amiin

Minggu, 04 April 2010

Kamis, 25 Februari 2010

Al-Sayyid Umar bin Ahmad bin Salim Aidid. (1343-1421 H )

Al-Sayyid Umar bin Ahmad bin Salim Aidid. (1343-1421 H )
As Sayyid Umar bin Ahmad Aidid
Assayyid Assholeh Salim Al-Baal Shofi Al-Hal Umar bin Ahmad bin Salim Aidid tinggal di Makkah Al-Mukaromah, dilahirkan di Wadi Aidid salah satu wadi dipinggiran kota Tarim tahun 1343 H. Ibunya anak dari Assayyid Alwi bin Ahmad Assegaf Asshofi. Assayyid Umar Aidid hidup atas didikan orang tuanya. Ayahnya wafat ketika berumur 10 tahun, lalu diasuh oleh kakaknya yang tertua bernama Idrus, sehingga beliau hafal Al-Qur’an dan sebagian matan, kemudian belajar ilmu dari beberapa guru, salah satunya Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid yang mengawinkan anak perempuannya. Allah memberikan kemudahan belajar dengannya dan membacanya dan mendapat ijazah kitab " Tuhfatul Mustafiid ". Selain belajar kitab tersebut dengan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid, juga belajar dengan Al-Habib Abdullah bin Umar Syatiri, Al-Habib Abdulbari bin Syekh Alaydrus dan Al-Habib Alwi bin Abdullah bin Syahabuddin. Beliau sangat senang mempelajari dan melazimkan didalam majelisnya membaca kitab Tuhfatul Mustafiid. Hatinya selalu diliputi cinta kepada Al-Habib Alwi, selalu menyebutkan kebaikannya dan sering menyebutkan keadaannya. Begitu juga beliau belajar dengan Al-Habib Musthafa bin Ahmad Al-Muhdhor, Al-Habib Muhammad bin Hadi Assegaf dan Umar bin Abdullah Al-Habsyi. Assayyid Umar Aidid juga belajar kepada Sayyidul Walid Ali bin Abubakar Almasyhur, belajar kitab " Al-Mukhtashor Asshoghir " karya Bafadol, keduanya mempunyai ikatan yang dekat dan bersahabat, karena dua hal :
1. Ada unsur pernikahan pada anak Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid.
2. Assayyid Muhammad bin Abubakar Al-Masyhur menikahi saudara perempuan Assayyid Umar Aidid, namanya Fatimah.
Guru-guru beliau yang lainnya adalah Assayyid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Assayyid Muhammad Amin Kutubi Al-Hasani, Assayid Hasan Fad’aq, Assyekh Hasan Sa’id Yamani, Assayyid Muhammad Sholeh Al-Muhdhor, Assayyid Abubakar Atthas Al-Habsyi, Assayyid Abdul Qadir Assegaf, Assyekh Muhammad Nur Seif, Assayyid Muhammad Al-Haddar, Assyekh Hasan Al-Masyath, dan lainnya, semoga Allah meridhoi mereka.
Assayyid Umar Aidid mengajar dirumahnya di daerah Al-Amirah di Balad Al-Haram hingga wafat. Murid-murid beliau dating dari berbagai penjuru, satu diantara mereka Assyekh Muhammad Ismail Azzain.
Assayyid Umar Aidid pernah pergi ke Afrika ( Assawahil ) tahun 1364 H. untuk berda’wah dan memberi petunjuk ilmu selama satu tahun, kemudian kembali ke Tarim.
Assayyid Umar Aidid bertemu dengan pengarang kitab Assayyidul Walid Al-Habib Ali bin Abubakar Al-Masyhur di Makkah Al-Mukaromah setelah Assayyid Walid keluar Yaman, keduanya berganti-ganti melakukan kunjungan. Assayyid Umar pernah mukim di Makkah tahun 1371 H. dan bekerja di Haromain sebagai penulis. Dan tinggal di Madinah di Rubat Anas bin Malik, kemudian bekerja di Makkah. Pada waktu liburan resmi sering ziarah ke Hadhramaut, tekun menghadiri majelis-majelis di Makkah, salah satunya majelis Al-Habib 'Athas Habsyi. Assayyid Umar Aidid mencintainya, selalu datang dan ta'jub dengan buah pikirannya. Assayyid Umar Aidid terkena bermacam penyakit diantaranya penyakit diabetes sampai salah satu kakinya di amputasi sehingga duduk di kursi roda selama hidupnya.
Al-Habib Ali bin Abubakar Almasyhur terus berkunjung kepada Assayyid Umar Aidid di Makkah dan Jeddah. Pernah Al-Habib Ali berkunjung kerumahnya pada bulan Jumadil Tsani 1418 H. Al-Habib Ali dan yang hadir mendapatkan ijazah dan dibacakan Fatihah buat yang hadir. Al-habib Ali membaca kitab Tuhfatul Mustafiid didepannya kemudian di ijazahkan oleh Assayyid Umar Aidid dengan ijazah yang telah di ijazahkan oleh pengarang kitab.
Kitab yang dikarangnya adalah Al-Fajru Al-Jadid ( dalam tulisan tangan ). Beliau mempunyai beberapa catatan-catatan atas beberapa kitab yang pernah beliau ajarkan. Dan telah meninggalkan perpustakaan yang ada pada anaknya Assayyid Abdul Qadir.
Assayyid Umar Aidid wafat pada hari senin diwaktu fajar tanggal 26/12/1421 H. dalam usia 78 tahun. Di makamkan waktu ashar dipekuburan Ma’la.
Assayyid Umar Aidid mempunyai 3 orang anak laki-laki :
1. Muhammad, menetap di Tarim
2. Abdul Qadir, menetap di Mekah
3. Ahmad ( wafat terlebih dahulu )
Dan mempunyai 4 orang anak perempuan, dua orang anak perempuannya wafat di waktu kecil.

sejarah islam dan sayyid al-aidid

Sample ImageIslam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Karena itu sebagaimana fithrahnya, maka cepat atau lambat akan menyebar keseluruh dunia dan memenuhi alam semesta. Keniscayaan inilah yang kemudian membawanya sampai ke wilayah Nusantara Indonesia.

Kepulauan Melayu-Indonesia terletak dibagian ujung dunia Muslim. Ia merepresentasikan salah satu wilayah paling jauh dari pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Fakta geografis ini sangat penting jika orang mencoba memahami dan menjelaskan islamisasi di kawasan ini. Jauhnya Nusantara membuat islamisasi ini sangat berbeda dengan islamisasi di kawasan umat Islam lainnya di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia Selatan. Berlawanan dengan wilayah-wilayah semacam Persia dan India – yang dalam banyak hal mengalami islamisasi setelah ekspansi militer dan kekuatan politik Islam dari Asia Barat – praktis tidak ada satu bagian dari kepulauan Melayu-Indonesia yang mengalami islamisasi seperti itu. Di sisi lain, Islam datang ke Indonesia ketika agama tersebut bukan lagi merupakan agama yang unggul baik secara politik, ekonomi, militer, maupun budaya, tetapi secara umum mengalami masa-masa surut. Konsekwensinya, umat Islam tidak mampu mendesakkan pengaruhnya untuk mentransformasi budaya lokal menjadi konstruk peradaban Islam yang sebenarnya.
Islam bukan merupakan arus yang cukup kuat ketika pertama kali menyebarkan agamanya. Karena itu para sejarawan menyebutkan bahwa, “penyebaran Islam lebih bersifat asimilatif ketimbang revolusioner. Islam datang ke Nusantara bukan melalui penaklukan tetapi melalui jalur perdagangan. Para sarjana dan peneliti tentang proses kedatangan dan penyebaran Islam di Kepulauan Melayu-Indonesia hampir bersepakat dengan kenyataan bahwa islamisasi di kawasan ini umumnya terjadi melalui jalan damai. Tentu saja ada sedikit kasus tentang penggunaan kekuatan oleh penguasa Muslim Melayu-Indonesia untuk mengonversi rakyat atau masyarakat di sekitarnya menjadi Islam, tetapi secara umum pengislaman berlangsung melalui cara-cara damai.

Islam harus banyak berkompromi dengan berbagai elemen tradisi lokal dan bersikap toleran terhadap berbagai tradisi yang asing bagi karakter dasarnya. Oleh karena itu, Islam dianggap sebagai sekedar suatu lapisan tipis dari berbagai simbol yang dilekatkan kepada inti ajaran-ajaran animisme dan/atau tradisi Hindu-Budha, hal ini terutama sekali terjadi di pulau Jawa.

Para sejarawan tidak memiliki kesepakatan tentang kapan tepatnya Islam mulai memasuki wilayah Nusantara. Sebagian besar menyebutkan bahwa Islam pertama kali dikenal di Indonesia sekitar abad ke 3 Hijriah/abad ke 9 masehi atau bahkan lebih awal dari itu. Namun Islam tidak menyebar di seluruh wilayah dalam intensitas yang sama. Pada awalnya Islam tampak berkembang pesat di wilayah-wilayah yang tidak banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Budha, seperti Aceh, Banten, Sumatra Barat, Makassar dan Maluku, serta wilayah-waliyah lain yang para penguasa lokalnya memiliki akses langsung kepada peradaban kosmopolitan berkat maraknya perdagangan antar bangsa ketika itu. (lihat J.C. Van Leur, Indonesian Trade and Society, dalam DR. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan). Di wilayah-wilayah ini, Islam dapat memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan mempengaruhi secara mendalam kesadaran keagamaan serta hubungan sosial-politik pada penganutnya yang baru.

Dalam sebuah buku yang cukup terkenal, A History of Modern Indonesia; c 1300 to the Present., M.C. Ricklefs, mengatakan bahwa abad ke 14 merupakan babak pertama sejarah Indonesia modern. Ia menyebutkan bahwa elemen fundamental yang menyebabkan periode sejarah sejak sekitar tahun 1300-an, yakni segi kultural dan religius, bahwa Islamisasi Indonesia sejak tahun 1300-an masih terus berlangsung hingga kini. Setidaknya hingga pertengahan abad ke 15, umat Islam bukan saja telah menyebar luas keseluruh kepulauan Indonesia, tapi secara sosial bahkan telah muncul menjadi agen perubahan sejarah yang penting. Meskipun belum sepenuhnya mencapai kepedalaman, mereka misalnya telah banyak membangun apa yang disebut sebagai, “diaspora-diaspora perdagangan” terutama di pesisir pantai. Dengan dukungan kelas saudagar terhadap para ulama, proses Islamisasi berlangsung secara besar-besaran dan hampir menjadi landscape histories yang dominan di Indonesia ketika itu.





Penyebaran Islam dari Daerah-Ke daerah

Untuk mengelaborasi lebih jauh, penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan internasional, dalam satu dan lain hal, cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang Muslim yang sudah berada di Nusantara sejak paling kurang pada abad ke 7, untuk tetap mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk Islam, penguasa lokal pada batas tertentu mengadobsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perdagangan. Contoh kasus ini adalah konversi penguasa Malaka, Parameswara, yang agaknya menerima Islam demi menarik kedatangan para pedagang Muslim ke pelabuhannya yang baru di bangun.

Sejak saat itu Islam mulai menyebar dan secara alami terjadi proses asimilasi dan akulturasi terhadap budaya lokal. Dalam seminar tentang sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Aceh pada tahun 1978, menyebutkan bahwa Perlak, Lamuri dan Pasai adalah kerajaan Islam yang pertama di Indonesia. Menurut Prof. A. Hasymi, kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada abad ke 3 Hijriah. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan mengenai tahun berdirinya kerajaan tersebut, ada yang menyebutkan 225 H dan yang lain menyebut 227 H. (Lihat Izhhar al-Haqq dan Tadzkirah Thabaqat dalam Prof A. Hasymi. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, PT. Alma’arif, Bandung 1981).

Dalam keterangan Marcopolo mengatakan bahwa, “perlu diketahui bahwa Perlak selalu disinggahi saudagar Arab, sebab di kerajaan Perlak ini mereka telah mengislamkan penduduknya.”

Selanjutnya Prof. A. Hasymi menulis, pada tahun 173 H sebuah kapal layar telah berlabuh di Bandar Perlak, membawa angkatan dakwah dibawah Nakhoda Khalifah, yang datang dari Teluk Kambay Gujarat, pada tanggal 1 Muharram 225H Kerajaan Perlak di Proklamasikan menjadi sebuah kerajaan Islam dan Sayid Abdul Aziz dilantik menjadi raja dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.

Angkatan dakwah yang dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Salah seorang dari mereka adalah Sayid Ali dari suku Quraisy yang kawin dengan seorang putri Perlak yaitu Makhdum Tansyuri adik dari Meurah (kepala suku) Perlak yang bernama Syahir Nuwi, adalah anak dari Pangeran Salman yang datang ke Perlak 50 tahun sebelum kedatangan angkatan dakwah tersebut. Jadi dapat diduga bahwa Islam masuk ke Aceh pada awal abad ke dua Hijriah atau akhir abad pertama Hijriah.

Dari perkawinan Sayid Ali dengan Makdum Tansyuri lahirlah Sayid Abdul Aziz. Dari sini dapat kita telusuri bahwa silsilah Sayid Abdul Aziz adalah Abdul Aziz bin Ali bin al-Muktabar bin Muhammad ad-Diba bin Jakfar Shiddiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain asy-Syahid bin Ali bin Abi Thalib/Fathimah binti Rasulullah Saw.

Sejak saat itu penyebaran Islam dari daerah ke daerah mengalami perkembangan yang pesat. Sejumlah kerajaan seperti kerajaan Pasai, kerajaan Aceh sampai ke Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Pariaman juga menerima Islam.

Di Pasai pada pemerintahan Raja Meurah Silu (al-Malik as-Saleh) yang memerintah Samudra Pasai pada tahun 650-688 H / 1261-1289 M menunjukkan bahwa beliau adalah keterunan Raja Perlak, yaitu Makhdum Sultan malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat (365 - 402 H / 976 – 1012 M). Pada masa kejayaannya di masa pemerintahan Sultan Ahmad Bahian Syah Malik az-Zahir tahun 727-750 H/1326-1345M, Samudera Pasai memainkan peranan dalam perkembangan Islam di Jawa dan Sulawesi.

Sejak saat itulah di wilayah kerajaan-kerajaan Aceh berdatangan sejumlah ulama dari Arab yang mengajarkan Islam. Di antaranya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniry al-Quraisy atau Syekh Nuruddin ar-Raniry, dari Gujarat, India. Tahun 1031 H/1621 M belajar ke Tarim, Hadramaut, kemudian melanjutkan ke Mekkah dan Madinah. Nuruddin ar-Raniry adalah pengikut Tarekat Rifaiyah, yang didirikan oleh Ahmad Rifa’i. Ia masuk terekat tersebut atas rekomendasi dari Sayid Abu Hafis Umar bin Abdullah Basyaiban dari Tarim. Sedangkan Basyaiban di rekomendasi oleh gurunya Sayid Muhammad Alaydrus yang lahir tahun 1561 M. di samping ulama seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani (1638 M), dan Abdurauf Singkel (1693 M)

Di Sumatra bagian Selatan menurut Ahmad mansyur Suryanegara dalam makalah yang berjudul Masuknya Agama Islam ke Sumatra Selatan, menulis bahwa, pertama. Penguasaan jalan laut perdagangan oleh bangsa Arab jauh lebih maju dari bangsa Barat. Jauh sebelumnya bangsa Arab telah mengusai samudra India atau Samudra Persia. Sekitar abad ke 10 navigasi perdagangannya sudah sampai ke Korea dan Jepang, di tengah perjalanan di Selat Malaka mereka berhubungan dagang dengan Zabaj (Sriwijaya), karena suluruh kapal yang melewati Selat Malaka singgah mengambil perbekalan di bandar Sriwijaya. Kedua, dapat dipastikan bahwa Islam masuk di daerah Sriwijaya pada abad ke-7. hal ini mengingat cerita buku sejarah Cina yang menyebutkan bahwa Dinasti Tang memberitakan tentang utusan Tache (sebutan untuk orang Arab) ke Kalingga pada tahun 674 M. dari sana dapat disimpulkan bahwa pada saat itu telah terjadi proses Islamisasi. Apalagi disebutkan bahwa pada zaman Dinasti Tang telah dikabarkan bahwa telah ada perkampungan Arab Muslim di pantai barat Sumatra pada tahun 674 M. ketiga, Para penulis seperti Ibnu Batuta (900M), Sulaiman (850M), dan Abu Said (950 M) menyebutkan bahwa sejak kekhalifahan Umayyah (661-750M) dan Abbasiyah (750-1268M) hubungan dagang mereka telah samapai ke wilayah kekuasaan Sriwijaya. Juga di saat yang sama para pedagang Sriwijaya telah berlayar ke negara-negara Timur Tengah.

DR. taufiq Abdullah dalam makalahnya yang berjudul beberapa Aspek Perkembangan Islam di Sumatra Selatan, menulis. “….setidaknya sejak akhir abad ke 16 Palembang merupakan salah satu enclave Islam terpenting atau bahkan pusat Islam di bagian selatan ‘pulau emas’ ini. Ini bukan saja karena reputasinya sebagai pusat perdagangan yang banyak dikunjungi oleh pedagang Arab/Islam pada abad-abad kejayaan Sriwijaya, tetapi juga dibantu oleh kebesaran Malaka. Ini berarti proses Islamisasi telah terjadi jauh sebelumnya…”

Salman Aly di dalam makalahnya yang berjudul Sejarah Kesultanan Palembang, menulis. “Pada waktu Gede Ing Suro mendirikan kesultanan Palembang, agama Islam telah lama ada di kawasan ini kira-kira pada tahun 1440 M…orang-orang Arab di masa ini terdapat sekitar 500 jiwa yang kebanyakan tinggal di tepi Sungai Musi…”

Di masa Sultan Muhammad Mansur, terdapat seorang ulama yaitu Sayid Jamaluddin Agung bin Ahmad bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Fakih Jalaluddin yang berjasa menyebarkan agama Islam di daerah Komering Ilir dan Komering Ulu bersama-sama dengan ulama lainnya yaitu Sayid al-Idrus yang sekaligus merupakan nenek moyang masyarakat dusun Adumanis.

Di pulau Jawa, menurut laporan sejarawan bahwa Islam sampai pada abad ke 13. dokumen yang paling awal yang dianggap dapat dipercaya bagi penyebaran Islam di tanah Jawa ialah ditemukannya batu nisan makam fathimah binti Maimun (1082) di desa Leran, Gresik, Jawa Timur. Lihat G.W.J. Drewes, “New Ligh on the Coming of Islam in Southeast Asia dalam Ahmad Ibrahim et al (eds), Reading on Islam in Southeast Asia (Siangapore; Institute of Southeast Asian Studies, 1985), h. 7 – 19. dan lihat juga, “Makam Siti Fathimah binti Maimun; awal sejarah Gresik terlupakan”, Kompas, 10 Mei 2002, h. D (Suplemen Jawa Timur).

Dalam buku Sejarah Tanah Jawa karangan Fruin Mees, jilid II halaman 8, dikatakan sebagai berikut; “Sunan Kalijaga hidup pada awal abad ke enam di Kerajaan Kadilangu, Demak. Di sana terdapat sebuah masjid terkenal yang didirikan pada tahun 874 H (1468M). sebelum itu Demak di namakan Bintara. Maka di pastikan di masa sebelum itu Islam telah ada di sana…”

Seluruh sejarawan menyebutkan bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa adalah para wali sembilan yang lebih terkenal walisongo. Tokoh yang paling utama dan tertua dari sembilan wali adalah Maulana Magribi atau Maulana Malik Ibrahim. Beliau datang ke pulau Jawa dan menetap di sebuah desa yang bernama Leran, terletak di luar kota Gresik. Kota Gresik pada saat itu merupakan kota pelabuhan perdagangan yang sering dikunjungi oleh para pedagang dari luar negeri. Ketika sampai di Gresik Maulana Malik Ibrahim menghadap ke Raja Majapahit untuk menyatakan maksud kedatangannya untuk berdakwa dan sekaligus mengajaknya masuk Islam. Oleh Raja Majapahit beliau diberi sebidang tanah di desa Gapura, Gresik sebagai tempat mengembangkan agama Islam. Tanah itu kemudian dikenal dengan nama “tanah perdikan”. Di atas tanah itu didirikan sebuah Masjid untuk pusat kegiatan ibadah dan dakwah.

Berdasarkan tulisan yang ditemukan pada batu nisan Maulana Malik Ibrahim, beliau wafat pada tahun 1419 M. dalam riwayat hidupnya, beliau berdakwa di Gresik selama 20 tahun. Jadi dapat diduga bahwa beliau mulai menetap di Gresik pada tahun 1399 M. Tepatnya, beliau meninggal pada tanggal 12 Rabiul awal tahun 882 H/1419 M.

Menurut Prof. DR. Hamka, Maulana Malik Ibrahim datang dari Kasyan, Persia, dan seorang bangsa Arab keturunan Rasulullah. Hal yang sama dibenarkan oleh Prof. DR. Hoessein Djajadiningrat, bahwa Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad Saw. AF. Martadji menuliskan bahwa nasab beliau adalah sebagai berikut; S. Maulana Malik Ibrahim bin S. Zainal Alam Barakat bin S. Jamaluddin Husein bin S. Ahmad Basya bin S. Abdullah Syahin Syah bin S. Abdul Malik bin S. Alwi bin S. Muhammad Sahib Mirbat bin S. Ali Khali Qasam bin S.Alwi bin S. Muhammad bin S. Alwi bin S. Abdullah Ubaidillah bin S. Ahmad Muhajir bin S. Isa bin S. Muhammad bin S. Ali Uraidhi bin S. Ja’far Shadiq bin S. Muhammad al-Baqir bin S. Ali Zainal Abidin bin S. Sayyidina HUsein bin S. Sayidina Ali/Siti Fathimah binti Rasulullah Saw.

Demikian juga dengan para walisongo lainnya, seperti Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang pada tahun 1479 berhasil mendirikan Masjid Agung Demak. Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan Rajanya Raden Patah yang direstui oleh Sunan Ampel. Sunan Berikutnya adalah Sunan Giri atau Sultan Abdul Faqih atau lebih dikenal dengan nama Ainul Yaqin lahir pada 1365, yang juga masih keturunan Rasulullah. Beliau berdakwa di daerah Blambangan. Di Kudus ada Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq, beliau dijuluki “waliyul ilmi”. Sunan Kudus mendirikan Masjid al Manar/al-Aqsa di Kudus pada tahun 965 H / 1549 M. Menurut Prof DR. Hamka, “Sunan Kudus adalah keturunan Sayidina Ali bin Abi Thalib dan memakai juga nama moyangnya Ja’far Shadiq imam ke empat menurut kepercayaan kaum Syiah dan menurut Babat Tanah Jawa. Nama belaiu waktu kecil adalah Untung. Beliau bekerja keras menyiarkan agama Islam berpusat di satu tempat yang diberui nama Quds (tempat suci), diambil dari nama negeri Bait al-Muqaddas sendiri, sebab dari sana konon beliau datang…”

Demikian halnya dengan Sunan Bonang atau Maulana Makdum Ibrahim, Sunan Drajat atau Syarifuddin Hasyim, Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, Sunan kalijaga atau Muhammad said, dan Sunan Muria atau Raden Said bin Raden Syahid. Seluruh walisongo adalah putra-putra keturunan Nabi Muhammad Saw. Dengan perjuangan dalam dakwah mereka yang tidak mengenal lelah maka hampir seluruh Tanah Jawa dapat di Islamkan.

Di Kalimantan kerajaan tanjungpura pada masa Raja Sorgi yang bergelar Giri Kusuma menerima seorang ulama Islam yang bernama Syekh Husein. Karena tertarik dengan ajarannya maka Raja segera memeluk Islam. Syekh Husein kemudian di kawinkan dengan putri dari sepupu Raja Kusuma dengan perjanjian bahwa jika Syekh Husein mandapatkan anak laki-laki dari perkawinan itu dan raja Kusuma mendapatkan anak perempuan atau sebaliknya, maka mereka akan dikawinkan, karena kepada merekalah nantinya tahta kerajaan akan diwariskan.

Syekh Husein dari pernikahan itu mendapat anak yang diberi nama Syarif Hasan. Ketika raja Kusuma meninggal 1604 M, Syarif Hasan diangkat menjadi raja setelah sebelumnya menikah dengan Putri Raja. Sejak saat itu Islam berkembang dengan pesat hingga masa pemerintahan Sultan Zainuddin II.

Di Pontianak rombongan para pendakwah Islam yang datang dari kota Tarim, Hadramaut, diantaranya adalah habib Husein al-Gadri. Setelah berdakwa sekitar 3 tahun di daerah Pontianak datanglah utusan dari raja Mempawa yang bernama Opu Daeng Menambon (keturunan Raja Luwu Sulawesi Selatan yang kawin dengan Ratu Mas Indrawati Putri Sultan Zainuddin II dari Raja Tanjungpura) untuk menjemput Habib Husein al-Gadri. Tanggal 8 Muharram 1160 H dengan 5 buah perahu berangkatlah ke Mempawa.

Di Mempawa Habib Husein al-Gadri sebelum Wafatnya pada tanggal 3 Dzulhijjah 1184 H, beliau menikahkan Putranya yang bernama Syarif Abdurrahman dengan Putri raja Mempawa Utin Cendramindi. Ketika beliau berada di Banjar oleh Sultan Banjar diangkat menjadi Pangeran Sayid Abdurahman Nur Alam yang kemudian menjadi Raja Pontianak dengan gelar Sri Sultan Syarif Abdurrahman bin Habib Husein al-Gadri.

Kerajaan terbesar setelah kerajaan Sriwijaya dan Majapahit adalah kerajaan di Sulawesi adalah Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa berdiri sekitar tahun 1300 an. Sebagai kerajaan di pesisir selat Makassar yang merupakan salah satu lintas laut perdagangan yang paling ramai. Maka hubungan dengan dunia luar tercipta baik dalam urusan ekonomi, sasial, politik, budaya dan agama.

Sulaiman as-Sirafi, pengelana dan pedagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persia mengatakan bahwa di Sili terdapat beberapa orang Islam, yaitu sekurang-kurangnya pada akhir abad ke 2 Hijriah. Hal ini sesuatu yang telah pasti dan tidak butuh pen-tahqiq-an lagi karena perdagangan rempah-rempah dan wangi-wangian yang berasal dari kepulauan Maluku pasti membuat pedagang-pedagang Muslimin sering berkunjung ke sana dan ketempat-tempat yang berdekatan dengan kepulauan ini. Menurut Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad bin Thalib ad-Dimasyqi yang terkenal dengan nama Syaikh ar-Rabwah dalam bukunya Nukhbah ad Dhar bahwa kepulauan Sili atau Sulu adalah Sulawesi. Lebih lanjut beliau mengatakan, “sekelompok Alawiyin telah memasuki pulau-pulau itu di waktu mereka melarikan diri dari kejaran golongan Bani Umayyah. Mereka lalu menetap dan berkuasa di sana sampai mati dan dikuburkan di daerah itu …”

Islam mulai diterima secara resmi dalam struktur kerajaan sekitar tahun 1500 an, pada masa Raja Gowa ke IX yang bernama Daeng Mantanra Karaeng Tamapa’risika Kallonna. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya Masjid yang dibangun pertama kali di daerah Manggalekanna tahun 1538 M. Pada masa pemerintahan Raja I Manga’rangi Daeng Manrobbia yang bergelar Sultan Alauddin di datangkanlah 3 orang ulama yang berasal dari Sumatra, yaitu:

1. Khatib Tunggal Abdul Makmur digelar Dato’ri Bandang dan menjadi penyebar agama di daerah Makassar

2. Khatib Sulaiman yang digelari Dato’ri pattimang yang terutama menyebarkan Islam di daerah Kerajaan Luwu

3. Khatib Bungsu yang digelar Dato’ri Tiro menjadi penyebar agama di daerah Bulukumba.

Kerajaan Gowa di Selatan dan Keraajaan Luwu di Daerah Utara Sulawesi Selatan menjadi pusat penyebaran Islam sejak Islam di jadikan sebagai agama resmi kerajaan, sehingga hampir seluruh Sulawesi Selatan kecuali Tana Toraja memeluk agama Islam.

Raja Gowa ke 32,33 dan ke 36 memakai gelar Aidid di belakang namanya. Mereka adalah keturunan dari Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid al-Aidid seorang ulama dari Hadramaut yang datang dari Aceh. Menurut cerita, pada abad ke 17 yaitu sekitar tahun 1632 M, telah datang di desa Cikoang, di Semenanjung Laikang pesisir selatan Sulawesi Selatan, seorang Sayid yang berasal dari Hadramaut bernama Sayid Jalaluddin bin Muhammad Wahid al-Aidid. Di Cikoang Sayid Jalaluddin mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat. Sebelum tiba di desa Cikoang, beliau terlebih dahulu menyiarkan Islam di Kutai, Kalimantan. Di Kutai beliau kawin dengan seorang Putri bangsawan Gowa. Dari perkawinannya tersebut kini tidak kurang dari 200 orang kepala keluarga yang bergelar sayid. Mereka sering menyebut dirinya sebagai kelompok Ahlulbait yang maksudnya keturunan dari nabi Muhammad Saw. Disebutkan bahwa Syekh Yusuf al Makassari ulama terkemuka Nusantara abad ke 17 sebelum berangkat belajar ke Timur Tengah terlebih dahulu beliau belajar kepada Sayid Jalaluddin al-Aidid dan Sayid Ba’alawi bin Abdullah al-Allamah Al-Thahir yang hidup di Bontoala. Setalah berdakwa sekitar 30 tahun di wilayah Makassar dan sekitarnya Sayid Jalaluddin melanjutkan perjalanan dakwah ke Pulau Sumbawa di Nusa Tenggara, sedangkan keluarga dan keturunannya di tinggalkan di Cikoang. (lihat, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, DR. Muhammad Syamsu, As, Lentera. Dan, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara, Prof. Azyumardi Azra, Mizan).

Diantara ajaran Sayid Jalaluddin yang dapat dilihat hingga hari ini adalah Maulud Nabi Muhamamad saw yang disebut “tradisi Maudu Lompoa”. Pada masa pemerintahan Sayid Ja’far Ash-Shadiq al Aidid menjadi Raja Gowa, maka tradisi Maudu Lompoa di tetapkan sebagai hari besar agama yang sangat penting sampai sekarang. Acara ini digelar selama 18 hari sejak 12 Rabiulawal sampai 30 Rabiulawal. Pelaksanaannya dilaksanakan secara langsugn oleh “ 40 Anrongguru” yakni guru-guru makrifat yang terdiri dari para sayid keturunan Sayid Jalaluddin al-Aidid.

Di Sulawesi Tengah penyiaran Islam di bawa oleh ulama dari Bugis keturunan Hadramaut. Diaantaranya ialah Sayid Zen al-Idrus serta Syarif Ali yang kawin dengan Saeran putrid bangsawan Buol, Toli-Toli. Tahun 1666 M syarif Ali bersama dengan putranya yang bernama Syarif Mansur yang gigih dalam berdakwa bertempur dengan Belanda. Setelah perjuangan panjang itu berlalu Syarif Mansur berserta 40 orang pengikutnya memasuki kota Manado.

Dalam kurun waktu berikutnya seorang ulama Arab bernama Habib Idrus bin Salim al-Jufri. Menurut cerita seorang tua bermarga al-Hamid yang di lahirkan di daerah Makassar menyebutkan bahwa Habib Idrus berangka ke Palu atas petunjuk gurunya di Pekalongan yaitu habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Attas. Habib Idrus mengajarkan Islam kepada penduduk Palu. Atas usaha tersebut dengan bantuan murid-muridnya dan masyarakat setempat di bangunlah sebuah madrasah/pesantren yang di beri nama “al-Khaerat”. Kemudian di resmikan sebagai Lembaga Pendidikan al-Khairat pada tanggal 30 Juni 1930 Masehi bersamaan dengan 14 Muharram 1349 Hijriah.

Di Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara pada abad ke 18 Rajanya adalah seorang pemeluk agama Kristen, karena penjajah asing. Bernama Yakob Manoppo. Pada zaman pemerintahan Cornelius Manoppo sejumlah ulama keturunan Arab yang dating dari Makassar karena hubungan dan pengaruh dakwah yang kuat akhirnya Raja Yakob Manoppo tanpa keraguan memeluk agama Islam. Demikian di tulis Prof Hamka dalam bukunya Sejarah Umat Islam jilid IV.

Kemudian seorang ulama keturunan Arab yaitu Sayid Umar bin Salim bin Jindan kemudian menikah dengan putrid kerajaan Bolaang Mongondow yang bernama Launa (saudara dari Loren Manoppo). Lalu Sayid Umar di angkat menajdi kepala daerah di daerah Sangaji.

Di Maluku, sejak abad ke 10 dan 11 perniagaan rempah-rempah terutama cengkeh dan pala adalah primadona. Para pedagang dari Arab dan Persia sudah keluar masuk sambil menyampaikan penyebaran agama Islam. Diceritakan bahwa di Ternate telah dating seorang ulama Islam yang bernama Datu Maulana Husein. Ulama ini sangat pandai membaca al-Quran dengan suara merdu sehingga pendduk tertarik untuk mendengarkan. Tetapi oleh Maulana Husein memberikan syarat bahwa setiap yang ingin mendengarkan bacaan Qurannya harus lebih dahulu mengucapkan dua kalimah syahadah, sehingga sejak saat itulah penduduk Ternate mulai memeluk agama Islam. Raja Ternate saat itu adalah Gapi Buta menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Zainal Abidin (1465-1486 M).

Sumber sejarah lama dan cerita rakyat secara tradisional menyebutkan bahwa semua sultan yang memerintah di empat kerajaan utama di maluku Utara berasal dari keturunan Nabi Muhammad saw. Jakfar Shadiq yang sampai di Ternate pada tanggal 10 Muharram 470 Hijriah (kira-kira 1015 M) kawin dengan Nur Safah. Dari pernikahannya dikarunia delapan orang anak empat putra dan empat putri. Dari ke empat putranyalah yang memerintah 4 kerajaan di daerah Maluku, yaitu; Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan. (Lihat Beberapa Segi Sejarah Daerah Maluku, Drs. Bambang Soewondo, h. 40-42, Dept. Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. 1978).

Secara keseluruhan daerah kepulauan Maluku seperti Hitu, Jadi, Kepulauan Kei terjadi sejak tahun 1500 an. Sampai pada tahun 1580 Sultan Babullah telah meluaskan kekuasaannya ke pulai-pulau sekelilingnya, sehingga dari Pulau Mindanau ( Pilipina) hingga Pulau Sumbawa, serta dari Irian hingga ke Sulawesi Tenggara.

Di Bali tidak ada keterangan yang pasti kapan Islam sampai. Akan tetapi ada beberapa petunjuk yang dapat dijadikan dasar Islam sampai ke pulau Dewata itu. Antara lain :

1. Dalam sejarah Sulawesi diterangkan bahwa Islam saat itu dijadikan agama resmi Kerajaan Gowa sehingga daerah-daerah yang di kuasainya, termasuk bali pasti disampaikan tentang Islam

2. Sejak Makassar berselisih dengan Kompeni belanda, pertempuran terjadi pada tahun 1653-1655 M. ini mengakibatkan banyak banyak nelayan Bugis pindah ke Bali, pasukan Gowa juga banyak yang mampir ke Bali.

3. Pada tahun 1690 M terjadi pertempuran antara penguasa ban Bukit di Singaraja yang bernama I Gusti Ngura Panji Sakti melawan pasukan Jembrana di bawah pimpinan Aryo Pancoran. Dalam pertempuran itu Aryo Pancoran menggunakan meriam Bugis.

4. Pada tahun 1715 M, I Gusti Agung Alit Tekung yang menjadi penguasa di Jembrana banyak bekerjasama dengan umat Islam Bugis seperti Daeng Ma’rema dan daeng Kudadempet, keduanya adalah ahli silat yang dianggap sakti dan menjadi guru silat di Jembrana.

Dari sejumlah alasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Islam pada periode tersebut sudah sampai ke sana.

Pada abad ke XVII telah datang ke Bali dua orang ulama Arab, yaitu Sayid Muhammad Alaydrus. Oleh Raja Bali saat itu yaitu Ratu Dewa Agung Putera Susuhunan Raja yang menjadi penguasa Bali dan Lombok. Beliau di angkat menjadi penasehat Raja, betapapun Raja beragama Hindu tetapi sayid Muhammad Alaydrus tetap dapat bekerjasama dan dapat menyiarkan agama Islam. Yang ke dua adalah Sayid Ali bin Abu Bakar al-Hamid. Oleh Raja Kalungkung Bali diangkat menjadi Sekretaris Raja untuk urusan perdagangan dengan Bugis dan Makassar. Dengan tugas ini Sayid Ali dapat menyebarkan dakwah Islam.

Pada tahun 1719 M dari Pontianak sekelompok pasukan mendarat di Pantai Air Kuning yang sekarang di sebut Yeh Kuning di bawah pimpinan Syarif Abdurrahman al-Gadri. Bersamaan dengan itu datang pula ulama yang bernama Syarif Abdullah bin Yahya Maulana al-Gadri. Mereka membangun Masjid di Air Kuning yang sampai sekarang masih berdiri. Inilah peninggalan arkeologi tertua tentang Islam di Bali sekalipun bentuknya telah berubah karena pemugaran.



Kesimpulan

Secara umum dapat disebutkan bahwa para pembawa agama Islam pertama kali ke wilayah Nusantara-Indonesia adalah para pedagang dan Muballigh dari Arab, Persia dan India. Mereka mengunjungi daerah-daerah pesisir nusantara yang berhubungan langsung dengan bandar-bandar perdagangan internasional. Aceh dengan kerajaan Perlak dan Pasai telah menjadi penyangga penyebaran Islam yang utama ke wilayah lainnya di Nusantara. Sebab ditemukan laporan bahwa hampir seluruh ulama yang menyebarkan Islam ke daerah lain adalah berasal atau paling tidak berguru ke kepada ulama yang ada di kedua kerajaan tersebut.

Setidaknya hingga pertengahan abad ke 15, umat Islam bukan saja telah menyebar luas keseluruh kepuluan Indonesia, bahkan secara sosial telah muncul menjadi agen perubahan sejarah yang penting. DR. Kuntowijoyo menyebutkan bahwa daya pikat utama agama baru ini adalah pada gagasan persamaannya, sebuah gagasan yang sangat menarik bagi kelas saudagar yang sedang tumbuh, dan yang tidak ditemukan dalam konsep stratifikasi sosial Hindu. Islam dengan demikian menyediakan “cetak biru untuk organisasi politico-ekonomi”, dan dengan ini sedang dipersiapkan jalan bagi terjadinya proses-proses perubahan struktural baru dari system agraris-patrimonial kearah persamaan dan pertumbuhan ekonomi atau “kapitalisme-politik”.

Dari cetak biru politico-ekonomi inilah, Islam menyentuh kalangan menengah pedagang pribumi memeluk agama Islam untuk berpartisipasi dalam komunitas moral perdagangan Muslim Internasional. Melalui Malaka yang sejak ahir abad ke 14 telah berkembang menjadi “entrepot-state” (Negara penyalur perdagangan lintas laut).

Dengan demikian hubungan perdagangan antar pulau di wilayah Nusantara semakin terbuka. Dan itu berarti memperluas jangkauan dakwah dan penyebaran Agama Islam. Para ulama – yang nota bene adalah para Sayid keturunan Rasulullah – yang sebagiannya menjadi Sultan atau paling tidak menjadi anggota keluarga kerajaan karena perkawinan dengan kerabat para raja menajdi leluasa dalam menyebarkan Islam. Hal inilah yang mempercepat proses islamisasi di wilayah kepulauan Nusantara-Indonesia.




SAYYID JALALUDDIN BIN MUHAMMAD WAHID AL-AIDID

Ini profil salah satu Ulama besar di Indonesia pada abad ke-17. Moga dapat membawa berkah manfaat, amin ya Rab Al-Alamin…
Sayyid Jalaluddinn bin Muhammad Wahid Al-Aidid..
Lahir di Aceh, tahun 16031, merupakan cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Juga merupakan keturunan Hadramaut2 yang masih keturunan langsung dari Ali ibn Abi Thalib dan Fatimah Ra, putri dari Rasulullah Saw. Tepatnya keturunan yang ke-27 dari nabi Muhammad Saw.
Ia sempat menuntut ilmu ke negeri Timur Tengah. Saat ia tiba di kerajaan Goa Makassar pada abad 17 pada masa pemerintahan Sultan Alauddin. Ia sempat singgah terlebih dahulu ke Banjarmasin untuk menyebarkan agama Islam. Di Makassar beliau kemudian diangkat menjadi Mufti kerajaan. Putra Mahkota kerajaan Goa oleh Sayyid Jalaluddin diberi nama Muhammad al-Baqir Imallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin. Dan Sultan Hasanuddin merupakan muridnya yang pertama, yang berguru padanya selama 16 tahun. Diberitakan bahwa Syekh Yusuf berguru kepadanya selama 3 tahun dan atas petunjuknya kemudian Syekh Yusuf diberangkatkan ke Timur Tengah untuk memperdalam ilmunya.
Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Aceh adalah naskah-naskah agama yang beliau bawa merupakan karangan-karangan Nuruddin ar-Raniriy, yaitu Akhbarul Akhirah dan Ash-Shiratal Mustaqim. Sampai sekarang naskah-naskah ter-sebut masih digunakan oleh anak keturunan beliau di Cikoang dan telah disalin berulang-ulang. Kedatangan beliau ke Sulawesi Selatan — seperti dikutip Abd. Majid Ismail dari Andi Rasdiyanah Amir, dkk. dalam Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi, 1982 —merupakan gelombang lanjutan dari proses Islamisasi kerajaan-kerajaan Bugis Makassar sesudah periode Dato’ ri Bandang, Dato’ di Tiro dan kawan-kawan pada awal abad ke-17.
Ia menikah dengan Daeng Ta Mameng, seorang putri bangsawan yang masih mempunyai darah kerajaan Gowa. Mempunyai 5 orang anak. Saat ia pertama datang ke Makassar banyak yang meragukan bahwa ia seorang keturunan dari Hadramaut, karena pada saat itu faham Al-Aidid belum menyebar di Indonesia, sehingga ia diacuhkan oleh sultan Makassar. Sehingga ia berpindah ke Cikoang dan menyebarkan agama Islam disana.
Untuk tujuan menyebarkan agama Islam itulah ia memulai tradisi upacara Maudu Lompoa. Dimana sengaja diselenggarakan upacara tersebut bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu maulid Nabi Muhammad Saw. Ia menulis kitab Rate’ yang berisi inti dari ajaran agama Islam serta riwayat hidup Rasulullah Saw hingga Jalaluddin Al-Aidid. Dimana isi dari kitab tersebut dibacakan pada setiap peringatan maudu Lompoa tersebut.
Dalam mengajarkan Islam di tanah Sulawesi Selatan, Sayyid Jalaluddin Al-‘Aidid mengajar-kan 3 hal penting yang kemudian menjadi faktor utama terwujudnya upa-cara Maudu’ Lompoa, yaitu prinsip al-ma’rifah, al-iman dan al-mahabbah.
Dengan prinsip itu diyakini bahwa pemaham-an ruhaniah secara hakekat terhadap Allah terlebih dahulu harus didahului dengan pemahaman menda-lam atas kejadian dan kelahiran Nabi Muhammad saw. Masyarakat Cikoang mengenal 2 proses kelahiran beli-au, yaitu kelahiran di alam ghaib (arwah) dan kelahiran di alam syahadah (dunia).
Kejadian di alam ghaib berwujud “Nur Mu-hammad” yang diciptakan Allah sebagai sumber segala makhluk yang daripadanyalah tercipta alam semesta ini. Masyarakat di Cikoang — khususnya para Sayyid — percaya bahwa Allah menyinari dan memberi cahaya langit dan bumi (bertajalli) melalui “Nur Muhammad” yang diciptakan Allah sebagai pokok kejadian segala makhluk dan rahmat bagi seluruh Alam.
Sedangkan kelahiran beliau di alam syahadah ini diyakini merupakan kelahiran dengan membawa kebenaran yang mutlak untuk dipegangi. Karenanya sebagai upaya untuk menyinambungkan ikatan pada dua konsepsi dasar kelahiran Nabi prosesi peringatan maulid menjadi sesuatu yang amat sakral. Masyarakat Takalar —khususnya para sayyid— meyakini sepenuh-nya kelahiran Rasulullah saw merupakan isyarat keme-nangan. Dan kemenangan harus diwujutkan dalam penguatan ikatan cinta melalui maudu’ lompoa kepada hazrat suci Nabi.
Saat perang adu domba Belanda bergejolak antara suku Bugis di Buton dan suku Makassar di Gowa, beliau ikut membantu dalam perlawanan melawan Aru Palaka. Kemudian, Saat perang mulai bergejolak dengan ditolaknya perjanjian Bungaya oleh Karaeng Galesong, Karaeng Bontomaranu, serta Sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin pada tahun 16673. Maka dengan perjanjian yang mengharuskan Karaeng Galesong dan sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin untuk diserahkan kepada pihak Belanda karena dianggap musuh yang paling besar dan berpengaruh maka mereka melarikan diri ke tanah Jawa. Sayyid Jalaluddin pun turut serta dalam acara melarikan diri tersebut. Mereka mendarat pertama di ujung barat pulau Sumbawa, sesampainya disana mereka berpisah. Dimana Karaeng Galesong, sultan Bima II Abdul Khair Sirajuddin, serta laskar Karaeng Galesong melanjutkan perjalanan ke tanah Jawa di arah barat. Sedangkan Sayyid melanjutkan perjalanan ke arah timur hingga tiba di Bima. Dengan membawa seluruh harta yang mereka bawa dari Makassar, dan mengganti nama selama perjalanan menjadi Mutahar.
Sayyid hidup di Bima sekitar 30 tahun, dimana ia menyebarkan agama islam di Bima. Walaupun demikian, beliau tetap memiliki kendala yaitu belum terkenalnya faham Al-Aidid sebagai bagian dari Hadramaut, dibandingkan dengan nama-nama hadramaut lain seperti Asegaf, Kaff, dan yang lainya. Maka ia menerima keraguan dari para sultan dan orang-orang kerajaan.
Ia wafat saat menyebarkan agama Islam di daerah pedalaman Bima tahun 16934, dimana ia mencoba mengajak para penduduk asli yang masih tinggal di puncak gunung untuk masuk ke dalam agama Islam. Dengan alasan bahwa ajaran yang dibawa oleh Sayyid adalah ajaran sesat. Para pihak Belanda mencoba untuk mengadu domba sehingga ditikamlah Sayyid dengan tombak oleh salah satu penduduk. Saat ia sekarat Belanda menembaknya hingga tewas.
Saat ini makam Sayyid Jalaluddin Al-Aidid berada di Bima. Di puncak bukit salah satu dusun terpencil di Bima, dimakamkan oleh para pengikut setianya serta para penduduk yang mengikuti ajarannya. Saat ini tempat itu menjadi pemukiman yang kental nilai Islaminya, baik dari segi kehidupan sehari-hari hingga tradisi adat mereka. Doa tak putus-putusnya untuk Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Al-Aidid, semoga amal ibadahnya diterima Allah swt, dan ditempatkan di syurga-Nya. Amin ya Rab Al-Alamin.
 asal-usul habib alawiyin


Hijrah dari Basrah ke Hadramaut
Nenek moyang golongan Sayid di Hadramaut adalah seorang yang bernama Ahmad bin Isa yang dijuluki al-Muhajir yang berasal dari Basra, Irak. Kepindahannya ke Hadramaut disebabkan kekuasaan diktator kekhalifahan Bani Abbas yang secara turun menurun memimpin umat Islam, mengakibatkan rasa ketidakpuasan di kalangan rakyat. Rakyat mengharapkan salah satu keturunan Rasulullah dapat memimpin mereka. Akibat dari kepemimpinan yang diktator, banyak kaum muslim berhijrah, menjauhkan diri dari pusat pemerintahan di Bagdad dan menetap di Hadramaut. Imam Ahmad bin Isa keadaannya sama dengan para sesepuhnya. Beliau seorang 'alim, 'amil (mengamalkan ilmunya), hidup bersih dan wara' (pantang bergelimang dalam soal keduniaan). Allah SWT mengaruniainya dua ilmu sekaligus, ilmu tentang soal-soal lahir dan ilmu tentang futuhatul-bathin (mengetahui beberapa masalah gaib). Di Iraq beliau hidup terhormat dan disegani, mempunyai kedudukan terpandang dan mempunyai kekayaan cukup banyak. Ketika beliau berangkat hijrah dari Iraq ke Hijaz pada tahun 317 H beliau ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin 'Ali al-'Uraidhy, bersama putera bungsunya bernama Abdullah, yang kemudian dikenal dengan nama Ubaidillah. Turut serta dalam hijrah itu cucu beliau yang bernama Ismail bin Abdullah yang dijuluki dengan Bashriy. Turut pula dua anak lelaki dari paman beliau dan orang-orang yang bukan dari kerabat dekatnya. Mereka merupakan rombongan yang terdiri dari 70 orang. Imam al-Muhajir membawa sebagian dari harta kekayaannya dan beberapa ekor unta ternaknya. Sedangkan putera-puteranya yang lain ditinggalkan menetap di Iraq.
Tibalah Imam al-Muhajir di Madinah al-Munawwarah dan tinggal di sana selama satu tahun. Pada tahun itulah kaum Qaramithah memasuki kota Makkah dan menguasainya. Mereka meletakkan pedang di al-hajij dan memindahkan Hajarul-Aswad dari tempatnya ke tempat lain yang dirahasiakan. Pada tahun berikutnya al-Muhajir berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau menuju Asir lalu ke Yaman. Di Yaman beliau meninggalkan anak pamannya yang bernama Sayyid Muhammad bin Sulaiman, datuk kaum Sayyid al-Ahdal. Kemudian Imam al-Muhajir berangkat menuju Hadramaut dan menetap di Husaisah. Imam al-Muhajir menetap di Hadramaut atas dasar pengarahan dari Allah SWT, sebab kenyataan menunjukkan, setelah beliau hijrah ke negeri itu di sana memancar cahaya terang sesudah beberapa lama gelap gulita. Penduduk yang awalnya bodoh berubah menjadi mengenal ilmu. Imam al-Muhajir dan keturunannya berhasil menundukkan kaum khawarij dengan dalil dan argumentasi. Kaum Khawarij tidak mengakui atau mengingkari Imam al-Muhajir berasal dari keturunan Nabi Muhammad SAW. Untuk memantapkan kepastian nasabnya sebagi keturunan Rasulullah saw sayyid Ali bin Muhammad bin Alwi berangkat ke Iraq. Di sanalah ia beroleh kesaksian dari seratus orang terpercaya dari mereka yang hendak berangkat menunaikan ibadah haji. Kesaksian mereka yang mantap ini lebih dimantapkan lagi di makkah dan beroleh kesaksian dari rombongan hujjaj Hadramaut sendiri. Dalam upacara kesaksian itu hadir beberapa orang kaum Khawarij, lalu mereka ini menyampaikan berita tentang kesaksian itu ke Hadramaut. Dengan demikian mantaplah sudah pengakuan masyarakat luas mengenai keutamaan para kaum ahlul-bait sebagai keturunan Rasulullah SAW melalui puteri beliau Siti Fatimah Az-Zahra dan Imam Ali bin Abi Thalib. Al-allamah Yusuf bin Ismail al-Nabhany dalam bukunya Riyadhul Jannah mengatakan: 'Kaum Sayyid al-Ba Alwiy oleh umat Muhammad SAW sepanjang zaman dan di semua negeri telah diakui bulat sebagai ahlul-bait nubuwah yang sah, baik ditilik dari sudut keturunan maupun kekerabatan, dan mereka itu adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu pengetahuan agamanya, paling banyak keutamaannya dan paling tinggi budi pekertinya'.
Mengenai hijrahnya Imam Ahmad Al-Muhajir ke Hadramaut, Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam bukunya 'Risalatul Muawanah' mengatakan: Al-Imam Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin al-Imam Ja'far Shadiq, ketika menyaksikan munculnya bid'ah, pengobralan hawa nafsu dan perbedaan pendapat yang makin menghangat, maka beliau hijrah dari negaranya (Iraq) dari tempat yang satu ke tempat yang lain hingga sampai di Hadramaut, beliau bermukim di sana hingga wafat.
Ahmad bin Isa, dengan maksud memelihara keturunan dari pengaruh buruk dan kesesatan yang nyata yang telah mewarnai kehidupan kekhalifahan Bani Abbas, berhijrah dari Basra ke Hadramaut pada tahun 317 H dan wafat di Husaisah pada tahun 345 Hijriah. Imam Ahmad bin Isa mempunyai dua orang putera yaitu Ubaidillah dan Muhammad. Ubaidillah hijrah bersama ayahnya ke Hadramaut dan mendapat tiga orang putera yaitu Alwi, Jadid dan Ismail (Bashriy). Dalam tahun-tahun terakhir abad ke 6 H keturunan Ismail (salah satu keturunannya ialah Syekh Salim Bin Bashriy) dan Jadid (salah satu keturunannya ialah al-Imam Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid) punah dalam sejarah, sedangkan keturunan Alwi tetap lestari. Mereka menamakan diri dengan nama sesepuhnya Alwi, yang kemudian dikenal dengan kaum Sayyid Alawiyin.
Gelar Imam, Syekh, Habib dan Sayid
Menurut Sayyid Muhammad Ahmad al-Syatri dalam bukunya Sirah al-Salaf min Bani Alawi al-Husainiyyin, para salaf kaum 'Alawi di Hadramaut dibagi menjadi empat tahap yang masing-masing tahap mempunyai gelar tersendiri. Gelar yang diberikan oleh masyarakat Hadramaut kepada tokoh-tokoh besar Alawiyin ialah:
IMAM (dari abad III H sampai abad VII H). Tahap ini ditandai perjuangan keras Ahmad al-Muhajir dan keluarganya untuk menghadapi kaum khariji. Menjelang akhir abad 12 keturunan Ahmad al-Muhajir tinggal beberapa orang saja. Pada tahap ini tokoh-tokohnya adalah Imam Ahmad al-Muhajir, Imam Ubaidillah, Imam Alwi bin Ubaidillah, Bashri, Jadid, Imam Salim bin Bashri.
SYAIKH (dari abad VII H sampai abad XI H). Tahapan ini dimulai dengan munculnya Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf, bidang perekonomian dan mulai berkembangnya jumlah keturunan al-Muhajir. Pada masa ini terdapat beberapa tokoh besar seperti Muhammad al-Faqih al-Muqaddam sendiri. Ia lahir, dibesarkan dan wafat di Tarim. Di kota Tarim, ia belajar bahasa Arab, teologi dan fikih sampai meraih kemampuan sebagai ulama besar ahli fiqih. Ia juga secara resmi masuk ke dunia tasawuf dan mencetuskan tarekat 'Alawi. Sejak kecil ia menuntut ilmu dari berbagai guru, menghafal alquran dan banyak hadits serta mendalami ilmu fiqih. Ketika ia masih menuntut ilmu, Syekh Abu Madyan seorang tokoh sufi dari Maghrib mengutus Syekh Abdurahman al-Muq'ad untuk menemuinya. Utusan ini meninggal di Makkah sebelum sampai di Tarim, tetapi sempat menyampaikan pesan gurunya agar Syekh Abdullah al-Saleh melaksanakan tugas itu. Atas nama Syekh Abu Madyan, Abdullah membaiat dan mengenakan khiqah berupa sepotong baju sufi kepada al-Faqih al-Muqaddam. Walaupun menjadi orang sufi, ia terus menekuni ilmu fiqih. Ia berhasil memadukan ilmu fiqih dan tasawuf serta ilmu-ilmu lain yang dikajinya. Sejak itu, tasawuf dan kehidupan sufi banyak dianut dan disenangi di Hadramaut, terutama di kalangan 'Alawi.
Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia memulai pendidikannya pada ayah dan kakeknya lalu meneruskan pendidikannya di Yaman dan Hijaz dan belajar pada ulama-ulama besar. Ia kemudian bermukim dan mengajar di Mekkah dan Madinah hingga digelari Imam al-Haramain dan Mujaddid abad ke 8 Hijriyah. Ketika Saudaranya Imam Ali bin Alwi meninggal dunia, tokoh-tokoh Hadramaut menyatakan bela sungkawa kepadanya sambil memintanya ke Hadramaut untuk menjadi da'i dan guru mereka. Ia memenuhi permintaan tersebut dan berhasil mencetak puluhan ulama besar.
Abdurahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Dawilah bin Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Ia digelari al-Saqqaf karena kedudukannya sebagai pengayom dan Ilmu serta tasawufnya yang tinggi. Pemula famili al-Saqqaf ini adalah ulama besar yang mencetak berpuluh ulama termasuk putranya sendiri Umar Muhdhar. Ia juga sangat terkenal karena kedermawanannya. Ia mendirikan sepuluh masjid serta memberikan harta wakaf untuk pembiayaannya. Ia memiliki banyak kebun kurma.
Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf adalah imam dalam ilmu dan tokoh dalam tasawuf. Ia terkenal karena kedermawanannya. Ia menjamin nafkah beberapa keluarga. Rumahnya tidak pernah sepi dari tamu. Ia mendirikan tiga buah masjid. Menurut Muhammad bin Abu Bakar al-Syilli, ia telah mencapai al-mujtahid al-mutlaq dalam ilmu syariat. Ia meninggal ketika sujud dalam shalat Dzuhur.
Abdullah al-Aidrus bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Hingga usia 10 tahun, ia dididik ayahnya dan setelah ayahnya wafat ia dididik pamannya Umar Muhdhar hingga usia 25 tahun. Ia ulama besar dalam syariat, tasawuf dan bahasa. Ia giat dalam menyebarkan ilmu dan dakwah serta amat tekun beribadah.
Ali bin Abu Bakar al-Sakran bin Abdurahman al-Saqqaf. Ia menulis sebuah wirid yang banyak dibaca orang hingga abad ke 21 ini. Ia terkenal dalam berbagai ilmu, khususnya tasawuf. Menurut Habib Abdullah al-Haddad, ia merupakan salaf ba'alawi terakhir yang harus ditaati dan diteladani.
HABIB (dari pertengahan abad XI sampai abad XIV). Tahap ini ditandai dengan mulai membanjirnya hijrah kaum 'Alawi keluar Hadramaut. Dan di antara mereka ada yang mendirikan kerajaan atau kesultanan yang peninggalannya masih dapat disaksikan hingga kini, di antaranya kerajaan Alaydrus di Surrat (India), kesultanan Al-Qadri di di kepulauan Komoro dan Pontianak, Al-Syahab di Siak dan Bafaqih di Filipina.
Tokoh utama 'Alawi masa ini adalah Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad yang mempunyai daya pikir, daya ingat dan kemampuan menghafalnya yang luar biasa. Sejak kecil ia telah menghafal alquran. Ia berilmu tinggi dalam syariat, tasawuf dan bahasa arab. Banyak orang datang belajar kepadanya. Ia juga menulis beberapa buku.
Pada tahap ini juga terdapat Habib Abdurahman bin Abdullah Bilfaqih, Habib Muhsin bin Alwi al-Saqqaf, Habib Husain bin syaikh Abu Bakar bin Salim, Habib Hasan bin Soleh al-Bahar, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.
SAYYID (mulai dari awal abad XIV ). Tahap ini ditandai kemunduran kecermelangan kaum 'Alawi. Di antara para tokoh tahap ini ialah Imam Ali bin Muhammad al-Habsyi, Imam Ahmad bin Hasan al-Attas, Allamah Abu Bakar bin Abdurahman Syahab, Habib Muhammad bin Thahir al-Haddad, Habib Husain bin Hamid al-Muhdhar.
Sejarawan Hadramaut Muhammad Bamuthrif mengatakan bahwa "Alawiyin" atau " qabilah Ba'alawi" dianggap qabilah yang terbesar jumlahnya di Hadramaut dan yang paling banyak hijrah ke Asia dan Afrika. Qabilah Alawiyin di Hadramaut dianggap orang Yaman karena mereka tidak berkumpul kecuali di Yaman dan sebelumnya tidak terkenal di luar Yaman.
Jauh sebelum itu, yaitu pada abad-abad pertama hijriah julukan Alawy digunakan oleh setiap orang yang bernasab kepada Imam Ali bin Abi Thalib, baik nasab atau keturunan dalam arti yang sesungguhnya maupun dalam arti persahabatan akrab. Kemudian sebutan itu (Alawy) hanya khusus berlaku bagi anak cucu keturunan Imam al-Hasan dan Imam al-Husein. Dalam perjalanan waktu berabad-abad akhirnya sebutan Alawy hanya berlaku bagi anak cucu keturunan Imam Alwy bin Ubaidillah. Alwi adalah anak pertama dari cucu-cucu Imam Ahmad bin Isa yang lahir di Hadramaut. Keturunan Ahmad bin Isa yang menetap di Hadramaut ini dinamakan "Alawiyin" diambil dari nama cucu beliau Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa yang dimakamkan di kota Sumul. Alwi bin Ubaidillah mempunyai anak Muhammad. Muhammad bin Alwi mempunyai anak Alwi. Alwi mempunyai anak Ali (Kholi' Qasam).
Ali diberi laqob "Kholi' Qasam" sebagai nisbah kepada negeri al-Qasam yang merupakan tempat mereka di negeri Bashrah, di mana dari tempat itu ia mendapat harta dan membeli tanah di dekat kota Tarim di Hadramaut dengan harga 20.000 dinar dan ditanaminya pohon kurma untuk mengenang kota Qasam di Bashrah yang tadinya dimiliki oleh kakeknya al-Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan tanah yang luas di sana di dekat teluk Arab dan penuh dengan kurma pada masa itu. Menurut sejarah, Ali Kholi' Qasam waliyullah yang pertama kali di makamkan di perkuburan Zanbal Hadramaut dan salah satu kewalian beliau jika memberi salam kepada Rasulullah baik dalam keadaan shalat atau dalam keadaan lain, Rasulullah langsung menjawab salamnya. Ali Khali' Qasam mempunyai tiga orang anak: Abdullah, Husin dan Muhammad. Tetapi yang tetap meneruskan keturunannya adalah dari Muhammad yang dikenal dengan sebutan " Shahib Marbath ".
Dari keturunan Imam Alwiy bin Ubaidillah muncul sejumlah 'ulama-auliya, mereka mengkhususkan perhatian hanya kepada dakwah mengajak manusia kembali kepada kebenaran Allah SWT. Setiap orang dari mereka mempunyai sanad (sandaran) yang bersambung ke Rasulullah SAW.
SEJARAH HABIB ALAWIYIN
1. Ali al-Uraidhi bin Ja'far al-Shodiq.

Imam Ali bin Ja'far al-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib mempunyai gelar Abu Hasan, beliau adalah mataharinya ahlul-bait dan bulannya keturunan Rasulullah saw. Nama lain beliau adalah Ali al-Uraidhi yaitu nama tempat yang terletak empat mil dari kota Madinah al-Munawwarah. Di kota itu beliau menetap dan di sana pula beliau meninggal (tahun 210 Hijriyah) dan dikuburkan.

Imam Ali al-Uraidhi adalah anak bungsu dari anak-anak Imam Ja'far al-Shodiq, ia masih kecil ketika ayahnya wafat. Semasa hidupnya ia menuntut ilmu kepada ayahnya dan saudaranya Imam Musa al-Kadzim dan Hasan bin Zaid bin Ali Zainal Abidin, hingga kepandaian beliau melebihi saudara-saudaranya sendiri. Sedangkan murid beliau adalah anaknya sendiri Muhammad dan Ahmad serta cucu beliau Abdullah bin Hasan bin Ali al-Uraidhi dan cucu saudaranya Ismail bin Muhammad bin Ishaq bin Ja'far al-Shodiq serta ahli qiroat Imam al-Bazi. Imam Ali al-Uraidhi dikaruniai umur panjang sehingga dapat memberikan cucu kepada ayahnya.

Imam Ali al-Uraidhi adalah seorang pemimpin kaum syarif dan syaikhnya Bani Hasyim di kota Uraidh, beliau tempat bertanya berbagai masalah agama, termasuk saudaranya sendiri Imam Musa al-Kadzim. Beliau hidup sampai masa al-Hadi Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa al-Kadzim. Anak-anak Imam Ali dikenal dengan al-Uraidhiyun yang banyak mendiami daerah Uraidh, Kuffah dan Qum. Anak-anak beliau:

1. Ja'far, mendapat keturunan dari anaknya Ali.
2. Hasan, mendapat keturunan dari anaknya Abdullah yang terdapat di Madinah, Mesir, Iraq dan negeri lainnya.
3. Ahmad Asy-Sya'roni, mendapat keturunan dari anaknya Muhammad yang terdapat di Iraq yang dikenal dengan Bani Jiddah, Basiron dan Thobariyah.
4. Muhammad An-Naqib.

2. Muhammad al-Naqib bin Ali al-Uraidhi.

Imam Abu Abdillah, Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far al-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan di kota Madinah al-Munawwarah, dibesarkan dan dididik oleh ayahnya Ali al-Uraidhi hingga ayahnya wafat. Beliau tidak pernah berpergian dan berpisah dari ayahnya kecuali setelah ayahnya wafat. Imam Muhammad bin Ali al-Uraidhi adalah seorang pemimpin yang sempurna. Para ulama sepakat atas kepemimpinannya, kewibawaannya, ilmunya, amalnya, kewara'annya, karena itulah Imam Muhammad digelari dengan al-Naqib (pemimpin). Beliau orang yang banyak beribadah, dermawan, tidak suka ketenaran.

Beliau yang pertama kali pindah dari kota Madinah ke kota Iraq dan menetap di Basrah. Beliau dikaruniai banyak keturunan diantaranya: al-Muhaddits Yahya bin Husin bin Isa Arrumi bin Muhammad An-Naqib, Abu Turab Ali bin Isa al-Akbar, Abu Fawaris Ja'far bin Hamzah bin Husin bin Musa bin Isa al-Akbar, Ishaq bin Isa al-Akbar, Muhammad bin Muhsin bin Muhammad bin Husin, Isa bin Muhammad bin Husin.

3. Isa bin Muhammad al-Rummi

Imam Isa bin Muhammad Ali al-Uraidhi bin Ja'far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib adalah seorang imam besar ilmu agama. Beliau dibesarkan dan dididik ilmu hadits, ilmu fiqih dan ilmu agama lainnya oleh ayahnya Imam Muhammad bin Ali al-Uraidhi.

Imam Isa bin Muhammad mempunyai kulit berwarna putih kemerah-merahan yang merupakan sebaik-baiknya warna, sebagaimana perkataan Imam Ali bahwa warna kulit Rasulullah adalah putih kemarah-merahan.

Beliau juga dinamakan Ar-Rumi dan An-Naqib, karena beliau mempunyai rupa putih kemerah-merahan seperti pria yang berasal dari negara Rum dan beliau juga sebagai seorang pemimpin para kaum syarif yang selalu menjaga dan menjamin keamanan kaumnya, dan nama beliau juga merupakan nama salah satu nabi yaitu nabi Isa alaihi salam. Adapun gelar yang lain yaitu al-Azraq, karena beliau mempunyai mata yang berwarna biru. Imam Isa bin Muhammad dikaruniai tiga puluh orang anak laki-laki dan lima orang anak perempuan.

4. Ahmad bin Isa (al-Muhajir)

Imam Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi Ja'far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, ketika menyaksikan terjadinya fitnah, bencana dan kedengkian telah mewabah pada masyarakat Iraq, berkuasanya para ahli bid'ah dan banyaknya penghinaan terhadap para syarif Alawiyin dan beratnya berbagai tekanan yang mereka rasakan, banyaknya para pencuri dari kalangan orang-orang hitam, dan perbuatan yang tidak pantas terhadap wanita kaum muslimin serta banyaknya pembunuhan, sebagaimana telah disebutkan oleh Ash-Shuli: " Sesungguhnya jumlah orang yang terbunuh pada musibah yang terjadi sebanyak 1,5 juta orang, diantaranya seorang pembesar dari mereka yaitu Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Isa bin Zainal Abidin", di samping itu mereka juga mencaci maki khalifah Usman, Ali, Tolhah, Zubair, Aisyah dan Muawiyah , maka disebabkan oleh hal-hal tersebut beliau hijrah dari negeri Iraq ke negri Hadramaut sebagaimana kakeknya Rasulullah saw hijrah dari Makkah ke Madinah.

Imam Ahmad dari Basrah hijrah ke kota Madinah pada tahun 317 Hijriyah yang selanjutnya menuju kota Makkah, kemudian berpindah ke Yaman Hadramaut. Di Hadramaut merupakan akhir perjalanan Imam Ahmad bersama anak dan keturunannya yang akhirnya beliau menetap di sana.

Imam Ahmad bin Isa pindah dari Basrah ke Hadramaut bersama anaknya Ubaidillah dan ketiga cucunya Alwi (kakek dari Bani Alawi), Jadid ( kakek dari Bani Jadid) dan Basri (kakek dari Bani Basri). Mereka semua adalah orang-orang yang mulia, ulama yang mengamalkan ilmunya.

Menurut al-Allamah Muhammad bin Salim al-Bijani dalam kitabnya " al-Asy'ah al-Anwar " jilid 2 halaman 82 mengatakan bahwa: " Sesungguhnya dari kalangan keluarga Ali yang pertama kali datang ke Hadramaut adalah al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau hijrah dari Basrah menuju Madinah bersama keluarganya yang berjumlah 70 orang ".

Ikut serta bersama Imam Ahmad hijrah dari kota Basrah ke kota Madinah kakek dari Bani Ahdal (keturunannya antara lain Ali bin Umar bin Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin Isa bin Alwi bin Muhammad bin Jamzam bin Auf bin Imam Musa al-Kadzim) dan kakek dari Bani Qudaim ( diantara keturunannya adalah Muhammad Jawad bin Ali Ar-Ridho bin Imam Musa al-Kadzim), sedangkan anak Imam Ahmad yang bernama Muhammad tetap tinggal di Iraq untuk menjaga harta Imam Ahmad al-Muhajir, sampai beliau mendapat keturunan dan meninggal di sana.

Pada tahun 318 Hijriyah, Imam Ahmad bin Isa menunaikan ibadah haji. Dari Makkah beliau pergi ke Hajrain Hadramaut dan membeli perkebunan kurma dengan harga 500.000 dinar dan menghadiahkan perkebunan tersebut kepada mawalinya. Kemudia beliau pindah ke daerah Husaisah yang jaraknya kira-kira setengah marhalah dari Tarim dan terletak sebelah Timur Syibam.

Berkata Muhammad bin Salim: " Daerah yang pertama kali disinggahi Imam Ahmad adalah Jubail di mana penduduknya mempunyai sifat yang baik dan mereka menerima dengan senang hati kedatangan Imam Ahmad. Negeri Jubail terletak di Wadi Du'an yang penduduknya bermadzhab Ahlussunnah dan Syi'ah yang dikelilingi oleh penganut madzhab Ibadiyah. Penduduk Jubail berasal dari suku Kindah dan Sodap. Tidak lama kemudian Imam Ahmad pindah ke Hajrain dan tinggal di sana selama satu tahun. Di Hajrain beliau membeli perkebunan kurma dengan harga 500.000 dinar dan menghadiahkan perkebunan tersebut kepada mawalinya. Kemudian beliau pergi ke desa Bani Jasir dan kemudian ke Husaisah. Di Husaisah beliau menetap sampai wafat. Pengembaraan beliau di Hadramaut di mulai dari tahun 320 hijriyah sampai tahun 345 hijriyah. Beliau hidup pada zaman Daulah Ziyadiyah (Bani Umayah) dan pada zaman Daulah Zaidiyah (al-Hasyimi) di Yaman. Selama di Hadramaut, beliau memerangi kaum Ibadhiyah dan kaum Qaramithah tanpa senjata".

Dalam majalah Al-Rabithah jilid 5 halaman 296 dijelaskan bahwa: " Imam Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut tidak untuk mencari kekayaan dunia, karena di Hadramaut tidak ada sesuatu untuk dicari. Barang siapa mendengar berita tentang negeri Hadramaut, maka dapat dikatakan bahwa Sayid Ahmad bin Isa dan keturunannya tidaklah hijrah dari negeri Iraq yang subur ke negeri yang tandus dan tidak dapat ditemukan adanya banyak makanan, akan tetapi beliau hijrah bersama keluarga dan anaknya karena menjaga diridan agamanya dari fitnah dan kekejaman bala tentara kerajaan ".

Sehubungan dengan hal di atas, berkata Imam Fadhol bin Abdullah bin Fadhol: "Barangsiapa yang tidak berkhusnuzhon terhadap keluarga Bani Alawi, baginya tidak akan diberikan kebaikan". Imam Ahmad bin Isa wafat pada tahun 345 hijriyah.

5. Ubaidillah bin Ahmad bin Isa

Syaikhul Islam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi Ja'far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan di Basrah, dibesarkan dalam lingkungan para ahli ilmu. Guru beliau adalah ayahnya sendiri Imam Ahmad bin Isa. Pada tahun 317 hijriyah beliau mengadakan perjalanan ke Makkah dan sekaligus menunaikan ibadah haji ke Baitullah.

Syaikhul Islam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa seorang yang hafal hadits, para ulama banyak meriwayatkan hadits darinya. Beliau juga merupakan ulama kenamaan di zamannya. Harta kekayaan beliau berupa perkebunan yang subur dan luas.

Beliau mempunyai tiga orang anak yang bernama Alwi, Jadid dan Basri. Alwi mempunyai keturunan yang tersebar di Hadramaut yang dikenal dengan nama Abi Alawi. Keturunan Imam Alwi banyak yang yang menjadi ulama, sulthon dan menteri, sedangkan keturunan dari keluarga Jadid dan keluarga Basri hanya sedikit dan terputus pada awal abad ke tujuh hijriyah.

Dari keluarga Basri terdapat seorang ulama besar bernama Syaikh Salim Basri yang manakibnya dapat dibaca pada kitab al-Thobaqat al-Asnawi dan kitab al-Nuzhah al-Uyun Fi Tarikh al-Thowaif"

Dari keluarga Jadid terdapat seorang ulama yaitu al-Imam al-Muhaddits Abi Jadid yang wafat di Makkah pada tahun 630 hijriyah. Manakib beliau dapat dibaca dalam kitab al-Nafhah al-Anbariyah.

Keluarga Alwi meneruskan keturunannya yang diberkahi Allah. Gelar Alawi bernisbah kepada kakek mereka Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir. Gelar tersebut terdapat pula di Yaman, bagian Barat Jazirah Arab dan Saudi Arabia dengan sebutan Bani Alawi, Ba'alawi atau Ibnu Alawi, akan tetapi umumnya dikenal dengan nama Alawiyin. Di negeri Maghrib gelar tersebut dikenal dengan al-Alawiyah, dan gelar itu digunakan oleh keturunan Hasan bin Qasim al-Hasani.

Di antara keramat Imam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa ialah beliau dapat menyembuhkan penyakit yang diderita seseorang hanya dengan mengusap badan orang yang sakit dengan kedua tangannya.

Imam Ubaidillah bin Ahmad hijrah ke Sumul dan menghadiahkan tanah subur yang terletak di tepi sungai kepada maulanya Ja'far bin Mukhoddam. Imam Ubaidillah bin Ahmad menetap dan menikah di Sumul serta wafat di sana pada tahun 383 hijriyah.

6. Alwi bin Ubaidillah (Abu Alawi).

Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi Ja'far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib dilahirkan dan dibesarkan di Hadramaut. Beliau seorang Hafidz Alqur'an dan sibuk dalam menuntut ilmu baik di Hadramaut maupun di makkah dan Madinah. Beliau dinamakan Alwi berdasarkan nama seekor burung yang terkenal keindahannya.

Imam Alwi seorang yang alim dalam berbagai cabang ilmu, banyak mengerjakan shalat dan berpuasa, bersedekah, berbuat baik dan lemah lembut kepada kaum fakir dan miskin, teguh dalam menjalankan perintah agama, mempunyai kemuliaan yang sempurna, syekhnya kaum arifin, seorang faqih yang zuhud.

Beliau menunaikan ibadah haji bersama saudaranya Jadid dan orang-orang dari keluarga pamannya, kerabat dekat dan sahabatnya. Jumlah yang ikut serta dalam menunaikan ibadah haji bersama beliau sekitar delapan puluh orang laki-laki yang tidak satupun diantara mereka yang membawa perbekalan. Selama perjalanan pergi menuju tanah suci sampai pulang kembali ke Hadramaut semua keperluan rombongan ditanggung olehnya, bahkan beliau membelikan hadiah juga kepada mereka untuk dibawa pulang kepada keluarga mereka.

Keturunan beliau tersebar ke seluruh penjuru dunia, nasab beliau terkenal seperti matahari yang bersinar di siang hari dan terangnya cahaya bulan di malam hari.

Di Suria terdapat suatu kaum yang diberi gelar Alawiyin, akan tetapi gelar tersebut dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang berkhidmat kepada Imam Ali, nasab mereka tidak bersambung kepada Imam Ali, mereka dinamakan kaum Mutawalah atau Mutawaliyah dan kaum Nashiriyah.

Di Sanqit, suatu daerah di negeri Maghrib terdapat pula orang-orang yang menggunakan gelar Alawi. Nasab mereka bersambung kepada Muhammad al-Hanafiah bin Ali bin Abi Thalib dan sebagian ada juga yang bersambung kepada Imam Hasan.

Menurut Syaikh Ar-Rabwah Abu Abdillah Muhammad bin Abi Thalib al-Anshori al-Damsyiqi dalam kitabnya Nuhbah al-Dahr cetakan Leipzig tahun 1920 masehi dikatakan bahwa: 'Hijrahnya kaum Alawi ke beberapa negara terjadi pada masa khalifah Usman bin Affan'

Imam Alwi wafat di Hadramaut, dikaruniai seorang putra yang bernama Muhammad.

7. Basri bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa.

Beliau adalah saudara kandung Imam Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa al-Muhajir Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi Ja'far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Beliau dilahirkan di Basrah, dididik oleh ayahnya, seorang yang haus akan ilmu, mahir dalam ilmu bahasa Arab dan ilmu hadits, seorang faqih, zuhud, wara', berakhlaq mulia.

Syaikh Salim bin Basri seorang waliyullah yang keramatnya khawariq dan seorang ulama yang khawas adalah keturunan Imam Basri bin Ubaidillah. Suatu ketika seorang Sultan mengumpulkan para ulama dan berkata: Pilihlah untukku seorang yang paling baik. Maka dipilihlah beberapa orang dari ahli Tarim. Sultan berkata lagi: Pilihlah dari mereka yang terbaik. Maka dicarilah dari mereka yang terbaik. Sultan berkata lagi: Berikan kepadaku orang yang mulia. Maka diberikanlah kepada sultan orang yang paling mulia. Kemudian Sultan berkata: Pilihlah dan berikan kepadaku satu diantara mereka yang paling mulia. Maka para ulama memilih Syaikh Salim bin Basri.

Berkata Syaikh Muhammad Syilih: 'Imam Salim bin Basri semasa hidupnya belajar kepada Syaikh Salim bin Fadhol Bafadhol dan dia bepergian ke Yaman dan Hijaz untuk menuntut ilmu kepada ulama kedua negeri tersebut'.

Di antara murid beliau adalah al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali Ba'alawi, Ibnu Abi al-Hub, Syaikh Ali Bamarwan, al-Qadhi Ahmad Ba'isa, Syaikh Ali bin Muhammad Khotib. Syaikh Salim bin Basri wafat tahun 604 hijriyah, bersamaan dengan wafatnya Imam Ali bin Yahya bin Maimun al-Hadrami.

8. Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa.

Imam Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi Ja'far al-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib lahir di Hadramaut. Beliau dididik dan belajar ilmu agama kepada ayahnya Imam Ubaidillah bin Ahmad bin Isa dan saudaranya Alwi dan Basri sehingga menjadi seorang yang ahli dalam ilmu sastra. Dinamakan Jadid karena kakeknya pindah dari Basra ke tempat yang baru bernama Hadramaut.

Pada zamannya Imam Jadid bin Ubaidillah yang menonjol dibandingkan dengan ulama lainnya terutama di bidang ilmu hadits dan ilmu tafsir. Ketika ke Aden, beliau bertemu dengan Qadhi kota tersebut yang bernama Syaikh Ibrahim bin Ahmad al-Qurdi dan belajar ilmu pengobatan kepadanya. Imam Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa wafat di kota Sumul, salah satu keturunannya Imam Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin Jadid.

Imam Ali bin Muhammad dan saudara Abdul Malik bin Muhammad mengadakan perjalanan ke kota al-Wajiz untuk berziarah kepada Syaikh Mudapa' bin Ahmad al-Muaini untuk belajar tasawuf dan beliau dinikahkan kepada anak perempuannya. Manakib kedua ulama tersebut terdapat dalam kitab " al-Athoyya al-Saniyah Fi al-Manaqib al-Yamaniah " karangan Abdul Malik al-Ghusani..

Berkata al-Sakhowi dalam kitabnya al-Maqasid al-Hasanah: telah mengkhabarkan kepada kami Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Jadid al-Husaini, Barang siapa mendengar muadzin berkata Ashadu anna Muhammad Rasullullah, maka jawablah dengan: Marhaban Ya Habibi, qurrotu Aini, Muhammad bin Abdillah saw.

Selain belajar di kota al-Wajiz, Imam Ali bin Muhammad belajar juga ke kota Makkah dengan Ibnu Abi al-Shoif al-Yamani, hal tersebut merupakan perjalanan terakhir beliau dan wafat di Makkah.

9. Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah.

Imam Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi Ja'far al-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib lahir di kota Sumul tahun 390 hijriyah. Di Sumul kaum Alawi mempunyai suatu kampung yang dinamakan kampung Alawiyah yang mempunyai bangunan yang tinggi dan kamar yang luas. Kemudian beliau pindah ke Bait Jabir yang mempunyai tanah pertanian yang luas dan dibesarkan di kota tersebut.

Imam Muhammad adalah seorang pemimpin kaum arifin yang selalu mengajak kaumnya ke jalan para salaf, hafal alquran dan kitab lainnya. Beliau belajar ilmu fiqih kepada anak pamannya Ubaidillah bin Basri dan ulama-ulama dari Bani Basri dan Bani Jadid serta ulama lainnya, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu yang bermanfaat sehingga menguasai ilmu fiqih, hadits dan tasawuf, mengisi waktunya dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah, menolong orang-orang yang teraniaya, rajin memberi sedekah, pemimpin kaum mujtahid, wara', selalu bertafakkur terhadap ciptaan Allah.

Dari keturunan beliau banyak yang menjadi ulama, faqih dan muhaddits. Imam Muhammad wafat pada tahun 446 hijriyah dalam usia 56 tahun di Bait Jubair.

10. Alwi bin Muhammad bin Alwi.

Imam Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far al-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib lahir di Bait Jubair suatu daerah yang mempunyai udara yang sejuk dan bersih serta air yang menyegarkan. Di sana keluarga Alawiyin mendirikan masjid yang dinamakan At-Taqwa.

Imam Alwi mempunyai dua orang anak , pertama bernama Salim (tidak mempunyai keturunan) dan yang kedua bernama Ali yang dikenal dengan Khali' Qasam. Imam Alwi bin Muhammad besar dalam didikan ayahnya Imam Muhammad bin Alwi. Beliau adalah seorang syaikhnya (guru besar) kaum ulama dan Fudhola yang berjalan di atas lintasan jalan yang lurus.

Imam Alwi bin Muhammad wafat pada tahun 512 hijriyah dan dimakamkan di Bait Jubair.

11. Ali bin Alwi bin Muhammad (Khali' Qasam)

Imam Ali bin Alwi bin Muhammad yang dikenal dengan Khali' Qasam lahir di Bait Jubair yang merupakan salah satu tempat yang diberkahi oleh Allah. Di sana beliau membeli sebidang tanah seharga dua puluh ribu dinar dan dinamakan Qasam. Nama tersebut merupakan nama suatu daerah kakeknya Ahmad bin Isa di Basrah. Di tanah tersebut dibangun rumah beliau yang dikelilingi dengan tanah pertanian yang subur dan daerah tersebut dinamakan Khali' Qasam serta banyak didiami oleh para penduduk.

Imam Ali bin Alwi adalah orang pertama dari kalangan keluarga Alawiyin yang datang ke kota Tarim, di mana sebelumnya beliau sering mengunjungi ke kota tersebut. Beliau tinggal di kota Tarim sejak tahun 521 hijriyah bersama anak keturunan pamannya dari keluarga Basri dan keluarga Jadid. Di kota Tarim mereka mendirikan sebuah masjid yang dikenal dengan nama masjid Bani Ahmad yang terakhir dikenal dengan nama masjid Bani Alawi. Masjid tersebut dari tahun ke tahun terus diperbaharui diantaranya oleh Muhammad Shahib Marbath dan Umar Muhdhar.

Imam Ali bin Alwi dibesarkan dan dididik dalam asuhan ayahnya Imam Alwi bin Muhammad. Beliau adalah pemimpin kaum Alawiyin yang dikaruniai Allah ketajaman mata hati, hafal Alqur'an dan menguasai berbagai macam cabang ilmu, sangat dermawan, tawadhu' dalam berbicara maupun bertindak serta berpakaian, ia tidak terlihat lebih menonjol dari yang lain. Jika beliau duduk bersama kaum khawas maupun kaum awam, orang tidak mengenali kalau beliau adalah seorang yang mempunyai kemuliaan yang tinggi, beliau melebur menjadi satu dengan dengan kumpulan jamaah tersebut.

Imam Ali bin Alwi merupakan pemimpin kaum Alawiyin pada zamannya. Beliau diberi kemuliaan dapat melihat dan berdialog langsung dengan Rasulullah saw serta meminta petunjuk ketika beliau menghadapi suatu masalah yang berat. Pada saat beliau sedang membaca: assalamu'alaika ayyuhan nabi warahmatullah wabarakatuh, maka Rasulullah menjawab salamnya: wa alaika salam ya syaikh wa rahmatullahi wabarakatuh. Hal tersebut terjadi tidak saja beliau sedang melaksanakan shalat, tapi juga dalam keadaan di luar shalat.

Syaikh Abdul Wahab al-Sya'rani dalam kitabnya al-Tanbieh mengatakan: 'Salah satu peristiwa yang dihadapi oleh suatu kaum, ketika mereka sholat di samping kubur Nabi dan mereka membaca shalawat Nabi dalam shalatnya itu, mereka mendengar jawaban dari Nabi saw '

Sebagian ulama bertanya: Karomah apa yang diwarisi oleh kaum itu sehingga mereka dapat mendengar salam dari Nabi, padahal tidak satupun dari sahabat yang mendapat jawaban salam dari kubur Nabi setelah beliau wafat, dan saya tidak melihat satupun dari mereka yang sampai pada maqam tersebut.

Sayid Ali al-Khawas berkata: 'Tidak berhak suatu kaum mendapatkan wilayah al-Muhammadiyah, jika orang tersebut tidak berkumpul dan hadir bersama Nabi saw'. Dan sebagian kebesaran Imam Ali bin Alwi, Rasulullah saw berkata kepadanya dengan kata-kata Ya Syaikh. Perkataan tersebut merupakan panggilan dalam wilayah kenabian.

Imam Ali bin Alwi wafat pada tahun 527 hijriyah dan dimakamkan di perkuburan Zanbal, Tarim. Beliau adalah orang pertama dari keluarga Alawiyin yang dimakamkan di di perkuburan Zanbal, Tarim.

12. Muhammad Shahib Marbath.

Imam Muhammad bin Ali dikenal dengan Shahib Marbath. Beliau lahir di Tarim. Ibunya ialah syarifah Fathimah binti Muhammad bin Ali bin Jadid bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Imam Muhammad bin Ali adalah kakek dari semua keturunan keluarga Alawiyin dari dua cabang, yaitu keturunan dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali dan keturunan dari paman al-Faqih Muqaddam yaitu Alwi Ammu al-Faqih.

Imam Muhammad bin Ali Shahib Marbath belajar kepada ayahnya dan beberapa ulama besar di Hadramaut, Yaman, Mekkah, Madinah. Beliau juga hafal Alqur'an, alim, banyak beribadah, mengerjakan amal kebajikan, berkhidmat untuk lingkungannya dan menguasai berrbagai cabang ilmu.

Beliau banyak mencetak ulama, diantaranya Syaikh Saad bin Ali al-Zhufari, Syaikh Ali bin Abdullah al-Zhufari, Syaikh Salim Bafadhol, Syaikh Ali bin Ahmad Bamarwan, al-Qodhi Ahmad bin Muhammad Ba'isa, Syaikh Ali bin Muhammad al-Khatib, Syaikh Muhammad bin Ali Taj al-Arifin, keempat anak beliau dan lainnya.

Imam Muhammad bin Ali tinggal di Tarim dan sering bepergian ke beberapa daerah. Beliau seorang yang dermawan, mempunyai rasa kasih sayang kepada sesama dan peduli terhadap lingkungannya, sampai-sampai beliau menginfaqkan rumahnya yang berjumlah tujuh puluh rumah.

Dari Tarim beliau pindah ke Zhufar. Kepindahannya ke Zhufar kemungkinan disebabkan karena sampainya berita tentang kaum Khawarij di Gaza yang dipimpin oleh Usman bin Ali al-Zanji al-Takriti yang haus akan darah dan membunuh para ulama dan fuqaha. Di antara ulama Tarim yang dibunuh adalah dua bersaudara bernama: Ahmad dan Yahya Ibnu Salim bin Abi Akdar. Terbunuhnya mereka karena keduanya menganut paham Ahlu Sunnah Waljamaah.

Zhufar adalah daerah yang terletak di sebelah Timur Hadramaut, yaitu Zhufar lama. Dan terdapat pula Zhufar Habuzhi dimana nama kota tersebut dinisbahkan kepada Ahmad bin Muhammad al-Habuzhi yang mendiami Zhufar baru. Di Yaman selain Zhufar tersebut terdapat pula Zhufar yang lain yaitu Zhufar San'a dan Zhufar Asrof akan tetapi yang lebih dikenal adalah Zhufar Habuzhi.

Sesudah segala bencana dan kezaliman berlalu dari Hadramaut, maka keluarga Alawiyin menguasai negeri tersebut dan berubahlah negeri itu menjadi negeri yang aman. Setelah itu banyak keluarga Alawiyin yang bepergian keluar Hadramaut di antaranya ke Sawahil, Afrika Timur, Jawa, India dan negeri lainnya.

13. Ali bin Muhammad Shahib Marbath.

Imam Ali bin Muhammad lahir di Tarim dan dibesarkan disana. Beliau ialah ayah dari Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang mempunyai kemuliaan, kedermawanan, selalu mengikuti jalan para ulama Alawiyin sehingga para salafus salihin berkata beliau adalah mataharinya kaum ahlul yakin dan bulannya kaum mujtahidin.

Imam Ali bin Muhammad dididik oleh ayahnya dan para ulama mujtahidin zamannya. Beliau seorang yang sangat taat dalam beribadah, baik shalat, puasa dan bersedekah, mempunyai akhlaq yang mulia, tawadhu', qana'ah. Imam Ali bin Muhammad wafat tahun 595 hijriyah.

14. Alwi bin Muhammad Shahib Marbath.

Imam Alwi bin Muhammad lahir di Tarim. Beliau adalah seorang ulama besar, pemimpin kaum Arifin, hafal alquran, selalu menjaga lidahnya dari kata-kata yang tidak bermanfaat, dermawan, cinta kepada fakir miskin dan memuliakannya, banyak senyum. Imam Alwi bin Muhammad dididik oleh ayahnya dan belajar kepada beberapa ulama, diantaranya Syaikh Salim Bafadhal, Sayid Salim bin Basri, Syaikh Ali bin Ibrahim al-Khatib.

Beliau wafat pada hari Senin bulan Zulqaidah tahun 613 hijriyah, dimakamkan di perkuburan Zanbal. Beliau dikarunia empat orang anak, yaitu:

Abdullah dan Ahmad (keturunannya terputus), Abdul Malik keturunannya menyebar di India yang dikenal dengan nama Azhomat Khon (leluhur Wali Songo). Abdurahman, keturunannya keluarga al-Bahasyim, al-Bin Semith, al-Bin Thahir, al-Ba'bud Maghfun, al-Bafaraj, al-Haddad, al-Basuroh, al-Bafaqih, al-Aidid, al-Baiti Auhaj.

15. Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam.

Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Ja'far Ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib, Ibnu al-Batul Fathimah binti Rasulullah saw, dikenal dengan al-ustadz al-A'zham al-Faqih al-Muqaddam. Beliau adalah bapak dari semua keluarga Alawiyin, keindahan kaum muslimin dan agama Islam, batinnya selalu dalam kejernihan yang ma'qul dan penghimpun kebenaran yang manqul, mustanbituhl furu' minal ushul, perumus cabang-cabang hukum syara', yang digali dari pokok-pokok ilmu fiqih, syaikh syuyukhis syari'ah (maha guru ilmu syari'ah), imamul ahlil hakikat (pemimpin para ahli hakikat), sayidul thoifah ash-shufiyah (penghulu kaum sufi), murakidz dairatul wilayah ar-rabbaniyah, Qudwatul Ulama al-Muhaqqiqin (panutan para ulama ahli ilmu hakikat), tajul a'imah al-arifin (mahkota para imam ahli ma'rifat), jamiul kamalat (yang terhimpun padanya semua kesempurnaan).

Imam Muhammad bin Ali adalah penutup para wali yang mewarisi maqom Rasulullah saw, yaitu maqom qutbiyah al-kubro (wali quthub besar). Beliau lahir tahun 574 hijriyah di kota Tarim, dididik dengan didikan Tuhannya, hafal alquran, menguasai makna yang tersurat maupun makna yang tersirat dari alquran.

Imam Muhammad bin Ali belajar fiqih Syafii kepada Syaikh Abdullah bin Abdurahman Ba'abid dan Syaikh Ahmad bin Muhammad Ba'Isa, belajar ilmu ushul dan ilmu logika kepada Imam Ali bin Ahmad Bamarwan dan Imam Muhammad bin Ahmad bin Abilhib, belajar ilmu tafsir dan hadits kepada seorang mujtahid bernama Sayid Ali bin Muhammad Bajadid, belajar ilmu tasawuf dan hakikat kepada Imam Salim bin Basri, Syaikh Muhammad bin Ali al-Khatib dan pamannya Syaikh Alwi bin Muhammad Shahib Marbath serta Syaikh Sufyan al-Yamani yang berkunjung ke Hadramaut dan tinggal di kota Tarim.

Para ulama Hadramaut mengakui bahwa al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali adalah seorang mujtahid mutlaq. Di antara keramatnya adalah: Ketika anak beliau Ahmad mengikuti al-Faqih al-Muqaddam ke suatu wadi di pertengahan malam, maka sesampainya di wadi tersebut beliau berdzikir dengan mengeluarkan suara, maka batu dan pohon serta makhluq yang ada di sekeliling tempat itu semuanya ikut berdzikir. Beliau dapat melihat negeri akhirat dan segala kenikmatannya hanya dengan melihat di antara kedua tangannya, dan melihat dunia dengan segala tipu dayanya melalui kedua matanya.

Di antara sikap tawadhu'nya, ia tidak mengarang kitab-kitab yang besar akan tetapi ia hanya mengarang dua buah kitab yang berisi uraian yang ringkas. Kitab tersebut berjudul Bada'ia Ulum al-Mukasysyafah dan Ghoroib al-Musyahadat wa al-Tajalliyat. Kedua kitab tersebut dikirimkan kepada salah seorang gurunya Syaikh Sa'adudin bin Ali al-Zhufari yang wafat di Sihir tahun 607 hijriyah. Setelah melihat dan membacanya ia merasa takjub atas pemikiran dan kefasihan kalam Imam Muhammad bin Ali. Kemudian surat tersebut dibalas dengan menyebutkan di akhir tulisan suratnya: "Engkau wahai Imam, adalah pemberi petunjuk bagi yang membutuhkannya". Imam Muhammad bin Ali pernah ditanya tentang 300 macam masalah dari berbagai macam ilmu, maka beliau menjawab semua masalah tersebut dengan sebaik-baiknya jawaban dan terurai.

Rumah beliau merupakan tempat berlindung bagi para anak yatim, kaum faqir dan para janda. Jika rumah beliau kedatangan tamu, maka ia menyambut dan menyediakan makanan yang banyak, dimana makanan tersebut tersedia hanya dengan mengangkat tangan beliau dan para tamu untuk berdoa dan meminta kepada Allah swt. Sebagaimana Sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya para saudaraku jika ia mengangkat tangannya untuk meminta makanan, maka akan tersedia makanan tersebut dalam jumlah yang banyak".

Syaikh Abdurahman Assaqqaf berkata: "Tidak aku lihat dan aku dengar suatu kalam yang melebihi kalam Imam al-Faqih al-Muqaddam kecuali kalam para nabi". Imam al-Faqih al-Muqaddam pernah berkata kepada kaummnya: "Kedudukan saya terhadap kalian seperti kedudukan Nabi Muhammad kepada kaumnya". Di lain riwayat Syaikh Abdurahman Assaqqaf berkata: "Kedudukan aku terhadap kalian seperti kedudukan nabi Isa terhadap kaumnya". Berkata Syaikh al-Kabir Abu al-Ghoits Ibnu Jamil: "Derajat kami tidak akan sampai seperti derajat Imam al-Faqih al-Muqaddam, kecuali hanya sampai setengahnya saja". Dalam salah satu kalimat yang ditulisnya kepada gurunya Syaikh Sa'aduddin, Imam al-Faqih al-Muqaddam berkata: "Aku telah dimi'rajkan ke Sidratul Muntaha sebanyak tujuh kali (di lain riwayat dua puluh tujuh kali)".

Di suatu saat Imam al-Faqih al-Muqaddam duduk bersama sahabatnya, ketika itu nabi Khidir as datang mengunjunginya dengan bentuk seperti pria badui yang kepalanya membawa keju. Maka berdiri Imam al-Faqih al-Muqaddam untuk mengambil keju tersebut lalu memakannya. Para sahabatnya yang hadir saat itu merasa heran dan bertanya: siapa dia? Maka beliau menjawab: Khidir as. Kejadian tersebut menjelaskan bahwa: Allah telah mengangkat derajat al-Faqih al-Muqaddam sebagai seorang ahli hakikat dan ahli kasyaf. Ini terlihat dari isyarat keju yang dimakannya dari kepala nabi Khidir as. Keju tersebut diibaratkan sebagai buah dari hasil mujahadat para wali. Dan dijadika Imam al-Faqih al-Muqaddam bagi para wali seperti kedudukan malaikat Jibril terhadap para nabi. Syaikh Fadhal bin Abdullah Bafadhal berkata: "Banyak dari manusia yang mendapat anugerah dari Imam al-Faqih al-Muqaddam lantaran didikan dan kebaikannya khususnya dua orang syaikh al-kabir Abdullah bin Muhammad Abbad dan syaikh Said bin Umar Balhaf.

Imam Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam berdoa untuk para keturunannya agar selalu menempuh perjalanan yang baik, jiwanya tidak dikuasai oleh kezaliman yang akan menghinakannya serta tidak ada satupun dari anak cucunya yang meninggal kecuali dalam keadaan mastur (kewalian yang tersembunyi).

Beliau seorang yang gemar bersedekah, setiap hari beliau memberi sedekah sebanyak dua ribu ratl kurma kepada yang membutuhkannya, memberdayakan tanah pertaniannya untuk kemaslahatan umum. Beliau juga menjadikan isterinya Zainab Ummul Fuqoro sebagi khalifah beliau. Imam Muhammad bin Ali wafat tahun 653 hijriyah dan dimakamkan di Zanbal, Tarim pada malam Jum'at akhir bulan Dzulhijjah.

16. Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.

Imam Alwi bin Muhammad lahir di Tarim, beliau dibesarkan dan dididik dalam asuhan ayahnya. Di samping itu beliau juga hafal alquran, mendengar tasbihnya benda-benda mati. Ibunya ummul fuqara Zainab binti al-Faqih Ahmad bin Muhammad Shahib Marbath.

Telah diriwayatkan bahwa Imam Alwi diperintahkan ayahnya mencari rumput untuk makanan kambing, maka ia kembali ke ayahnya dan tidak jadi memotong rumput tersebut, dan berkata: "Bagaimana saya dapat memotong rumput itu, karena ketika ingin memotongnya saya saksikan rumput tersebut sedang bertasbih kepada Allah swt dan saya merasa malu untuk memotongnya".

Imam Alwi bin Muhammad mempunyai wilayah/kekuasaan mutlak yang diberikan oleh Allah swt. Allah telah mengangkat derajatnya dengan memiliki rahasia ketuhanan dan alam barzah, mengetahui kesengsaraan dan kebahagiaan seseorang, sehingga beliau berkata: "Kedudukanku adalah sama dengan kedudukan al-Junaid". al-Junaid adalah seorang pemimpin kaum sufi. Pada suatu hari ayahnya berkata kepadanya dan ketika itu ia masih kecil: "Engkau mengetahui segala kesusahan dan kebahagiaan, maka bacalah apa yang ada di keningku. Maka dibacanya sesuatu yang mengandung kebahagiaan dan diberitahukan kepada ayahnya".

Ketika Rasulullah saw berkunjung kepadanya, ia melihat Khalifah Abu Bakar dan Umar bersama Rasulullah. Imam Alwi berkata kepada Rasul: "Di manakah kedudukan kami di sisimu, wahai kakekku? Rasulullah menjawab: Di mataku. Rasul balik bertanya: Di manakah kedudukanku di sisi kalian wahai Syaikh Alwi? Imam Alwi menjawab: Di atas kepalaku. Maka berkata Khalifah Abu Bakar: Wahai Syaikh Alwi, kakek engkau belum merasa bahagia dengan menjadikan engkau di matanya dan engkau menjadikannya di atas kepalamu. Berkata Imam Alwi: Apa yang harus aku perbuat? Bersedekahlah sebanyak seratus dinar kepada para fuqara". Imam Alwi bin Muhammad selalu melindungi dan mengabulkan hajat orang, menolong orang-orang yang memerlukan pertolongan , pemaaf.

Ketika ia memperlambat perkawinannya, keturunannya yang masih berada di dalam punggungnya berkata: "Kawinlah, sehingga kami dapat keluar dari punggungmu !". Berkata al-Muhaddits Imam Muhammad bin Ali bin Alwi al-Khirrid Ba'alawi dalam kitabnya al-Ghuror , telah dikabarkan kepada Syaikh Abdurahman bin Ali, seungguhnya kaum ulama al-arifin berkata: "Tiga orang dari keluarga Alawiyin yang cerdik dan doanya mustajab ialah Syaikh Alwi, anaknya Syaikh Ali dan Umar Muhdhar".

Ketika saudaranya Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam wafat, kepada beliau Rasulullah memberinya baju dan memerintahkan untuk memakaikannya sebagai kafan kepada saudaranya. Maka dipakaikannya baju tersebut kepada Syaikh Abdullah dan berkata: "Sesungguhnya saudaraku Abdullah adalah seorang wali quthub pada zamannya". Syaikh Abdullah bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam wafat pada malam Senin dua puluh Zulqoidah tahun 662 hijriyah. Beliau tidak mempunyai keturunan kecuali anaknya Muhammad An-nuqo'i dan Fathimah (ibu dari Syaikh Ahmad bin Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam). Muhammad An-nuqo'i ialah seorang waliyullah, beliau sering bertemu dengan nabi Khiddir as. Karena rasa takutnya kepada Allah swt beliau sering tidak sadar dan jatuh ke tanah. Imam Alwi bin Muhammad wafat pada hari Jum'at Dzulqoidah tahun 669 hijriyah.

17. Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.

Imam Ahmad lahir dan dibesarkan di Tarim. Di samping belajar kepada ayahnya, Imam Ahmad juga belajar kepada saudaranya Alwi dan Abdullah, karena beliau adalah anak yang paling kecil dari ayahnya. Beliau juga seorang yang hafal alquran. Imam Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam berkata: "Anakku ada lima. Alwi, Abdullah dan Abdurahman mewarisi dzatku sedangkan Ali dan Ahmad mewarisi sifatku".

Imam Ahmad selalu berjalan di atas thoriqah ayahnya, diantaranya banyak berpuasa, silaturahmi, berdzikir baik malam dan siang, sangat suka beruzlah menghindari diri dari bercampur dengan manusia. Menurut beliau, banyak bercampur dengan manusia mewariskan kebangkrutan amal. Beliau seorang yang zuhud dan tawadhu' terhadap orang yang lebih tua dan yang lebih muda.

Syaikh Sahal bin Abdullah bin Muhammad bin Hikam Baqasyir berkata: "Ketahuilah, sesungguhnya Allah telah memberi berkahnya kepada nabi Muhammad saw , dan dari nabi diberikan kepada para shalihin dan orang-orang yang berziarah pertama ke makam Sayid Ahmad sambil berkata: Assalamu'laikum wahai sayid Ahmad, engkau telah mendapatkan berkah dari nabi saw dan berkah nabi dari Allah swt".

Imam Ahmad wafat sebagai syahid pada tahun 706 hijriyah, di makamkan dekat masjid al-Arif Billah Syaikh Abdullah bin Ibrahim Baqasyir. Makamnya terkenal di kalangan masyarakat sekitar dan diperbaharui pada awal abad sepuluh.

18. Ali bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.

Imam Ali bin Alwi lahir di Tarim, beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya. Beliau juga seorang yang hafal alquran. Ibunya bernama syarifah Fathimah binti Ahmad bin Alwi bin Muhammad Shahib Marbath.

Imam Ali bin Alwi seorang yang khawas yang menduduki maqom wali quthub, sering bermujahadah, riyadhoh dan khalwat. Beliau ialah seorang yang menjadi panutan bagi para murid yang menjalankan thoriqah suluk. Beliau sering berziarah ke makam nabi Hud as pada bulan Rajab, Sya'ban dan Ramadhan.

Imam Muhammad bin Abi Suud berkata: "Ketika datang suatu kenikmatan dunia kepadanya, maka ia berkata: Ya Allah pindahkanlah aku dari dunia atau pindahkanlah dunia dari aku". Tidak lama kemudian beliau meninggal dunia.

Berkata Syaikh Ibrahim bin Abi Qasyir: "Saya melihat Syaikh Ali bin Alwi dalam mimpiku, maka saya berkata: Apa yang Allah perbuat kepadamu. Maka beliau menjawab: Kepada hamba yang dicintainya, tidak ada satupun yang dapat membuat mudharat kepadanya".

Imam Ali bin Alwi wafat pada hari Rabu tanggal tujuh belas Rajab tahun 709 hijriyah, beliau tidak mempunyai anak kecuali Syaikh Muhammad Maula Dawilah dan enam anak perempuannya: Maryam, Khadijah, Zainab, Asiyah, bahiyah dan Maniyah.

19. Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam.

Imam Abdullah bin Alwi lahir di Tarim tahun 738 hijriyah. Beliau belajar tafsir , hadits dan tasawuf kepada kakek dan ayahnya, Imam Ahmad bin Abdurahman bin Alwi bin Muhammad Shahib Marbath, Syaikh Abdullah bin Ibrahim Baqasyir. Beliau seorang yang zuhud, wara' dan menempati maqom wali besar yang terkumpul padanya ilmu-ilmu syariah dan hakikat. Disamping belajar di Tarim, beliau juga belajar kepada Syaikh Umar bin Maimun di Yaman dan setelah itu beliau menunaikan ibadah haji ke Makkah pada tahun 670 hijriyah. Di Makkah, para penduduk di sana meminta kepada Imam Abdullah untuk berdoa agar hujan segera turun di kota itu. Maka dengan izin Allah swt hujan pun turun di Makkah. Banyak penduduk Makkah yang belajar ilmu kalam dan ilmu tasawuf kepadanya.

Setelah lama tinggal di Makkah, penduduk Tarim meminta beliau untuk pulang ke negerinya. Maka ia pun pulang ke Tarim melalui kota Zubaidi dimana kota tersebut banyak berkumpul para ulama besar, kemudian beliau ke kota Taiz dan kota Akur untuk berziarah kepada Syaikh Umar bin Maimun. Akan tetapi ketika sampai di kota tersebut beliau menemukan Syaikh Umar bin Maimun telah meninggal, maka beliau memandikan dan menguburkannya. Sesudah itu beliau ke Tarim.

Imam Abdullah seorang yang bersifat dermawan. Beliau menginfaqkan hartanya untuk keluarga Alawiyin yang ada di Tarim. Syaikh Ali bin Salim menceritakan: "Pada suatu hari beliau mendapat uang sebesar lima ratus dinar, maka dibagikannya uang tersebut kepada keluarganya tanpa meninggalkan sedikitpun untuknya".

Imam Abdullah Ba'alawi adalah seorang yang banyak menangis karena rasa takutnya kepada Allah swt terutama ketika sedang membaca alquran hingga terlihat matanya bengkak. Dan salah satu kebiasaannya, beliau sering beri'tikaf di masjid mulai sebelum subuh sampai terbit matahari. Pada waktu i'tikaf diisi dengan shalat dan membaca alquran. Setelah terbit matahari beliau pulang ke rumah dan beberapa saat kemudian beliau kembali lagi ke masjid untuk mengkaji ilmu sampai waktu sebelum dzuhur. Sesudah itu beliau pulang ke rumahnya untuk tidur sesaat dan beliau beristirahat di rumahnya sampai waktu shalat ashar tiba. Setelah itu beliau shalat ashar berjama'ah di masjid dan bermudzakarah dengan sahabatnya sampai waktu shalat maghrib, setelah shalat maghrib beliau membaca alquran sampai waktu shalat isya' dan setelah shalat isya beliau pulang kerumahnya.

Pada bulan Ramadhan beliau pergi ke masjid untuk shalat tarawih sesudah itu shalat dua rakaat. Dalam shalat itu, beliau membaca alquran sampai khatam. Kemudian beliau kembali ke rumahnya. Ketika waktu sahur tiba, beliau kembali lagi ke masjid hingga waktu shalat dzuhur. Setelah itu beliau mengkaji ilmu sampai waktu ashar.

Syaikh Muhammad Maula Dawilah berkata: "Tidak aku lihat dalam perjalananku dan selama hidupku orang seperti pamanku Abdullah Ba'alawi". Syaikh Abdurahman Assaqqaf berkata: "Para kaum ulama al-arifin bersepakat bahwa Syaikh Abdullah bin Alwi merupakan pemimpin kaum mujtahid yang mempunyai keramat yang khariqah".

Pada saat wafat beliau berumur sembilan puluh tiga tahun. Berkata Syech bin Abdullah Alaydrus: "Tidak ada dari keluarga Ba'alawi yang hidup umurnya melebihi sembilan puluh kecuali hanya tiga orang yaitu al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, Syaikh Abdullah bin Alwi dan Syaikh Abdurahman Assaqqaf".

Imam Abdullah bin Alwi wafat pada hari Rabu bulan Jumadil 'Ula tahun 731 hijriyah. Pada hari wafatnya banyak orang yang hadir terutama dari kalangan kaum fuqara dan kaum lemah serta anak-anak yatim.

20. Muhammad Maula al-Dawilah.

Imam Muhammad Maula Dawilah lahir di Tarim. Beliau tumbuh dan dibesarkan di sana. Ketika ayahnya meninggal ia masih kecil dan selanjutnya beliau diasuh dan dididik oleh pamannya Syaikh Abdullah. Imam Muhammad Maula Dawilah belajar kepada kaum ulama al-arifin , para fuqaha di Makkah dan Madinah.

Berkata Syaikh Muhammad bin Hasan al-Mualim: "Saya menyaksikan bahwa Syaikh Muhammad Maula dawilah berada dalam kasih sayang Allah swt setelah wafatnya". Suatu hari Syaikh Muhammad Maula dawilah hadir bersama paman dan gurunya Syaikh Abdullah Ba'alawi. Ketika datang waktu shalat, beliau langsung menunaikan shalat tanpa terlebih dahulu mengambil wudhu' dan ketika ditanya kepadanya, Syaikh Muhammad Maula Dawilah berkata: "Demi Allah swt, sesungguhnya saya telah minum dan berwudhu' dengan air di telaga kautsar". Kemudian beliau menggerakkan jenggotnya, maka meneteslah air dari jenggotnya itu. Telaga kautsar adalah salah satu telaga yang berada di surga.

Al-Faqih Ali bin Silim meriwayatkan: Pada suatu hari Syaikh Muhammad Maula Dawilah datang ke rumahnya dan memegang rumah tersebut dengan jari-jarinya. Lalu ia berkata kepada penghuni rumah tersebut: Keluarlah kamu sekalian wahai penghuni rumah. Maka keluar semua yang ada di dalam rumah tersebut. Setelah itu beliau melepaskan tangannya dan menjauh dari rumah itu, maka tidak lama kemudian rumah itu roboh dan semua penghuni rumah tersebut selamat.

Berkata Syaikh Abdurahman Assaqqaf: "Ayahku berkata kepadaku: ketika aku sedang sakit datang dua orang malaikat dengan sebuah bejana dan di dalamnya terdapat sesuatu yang berwarna putih seperti susu, maka aku minum apa yang ada dalam bejana itu sampai habis, rasa cairan yang aku minum lebih manis dari madu. Maka beliau berkata: dari mana cairan ini? Malaikat tersebut menjawab: dari mata air Salsabila.

Sesungguhnya Syaikh Muhammad Maula Dawilah jika sedang membaca alquran tentang ayat-ayat yang berisi berita peringatan, maka kaku lidahnya, cemas dan terlihat di kedua bibirnya seperti terbakar dan beliau selama dua puluh tahun melaksanakan shalat subuh dengan wudhu' isya. Ketika merasa sesaat lagi akan wafat, beliau melihat Rasulullah saw memakaikannya jubah.

Imam Muhammad Maula Dawilah wafat pada hari Senin tanggal sepuluh bulan Sya'ban tahun 765 hijriyah.

21. Abdurahman Assaqqaf bin Muhammad Maula Dawilah.

Imam Abdurahman Assaqqaf lahir di Tarim. Beliau tumbuh dan belajar ilmu di Tarim, Gail, Aden dan daerah lainnya serta membagi waktunya antara Tarim, Syibam, Du'an, Barum dan Aden. Ibunya bernama Aisyah binti Abi bakar bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam yang dikuburkan di Qasam. Beliau ialah seorang penghimpun ilmu-ilmu aqli dan naqli yang dipelajarinya dari Syaikh Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam, Syaikh Ali bin Salim At-Tarimi, Syaikh Ali bin Said Basolib, Syaikh Abdullah bin Thohir Ad-Duani, Abu Bakar bin Isa Bayazid (shahib Amud), Syaikh Muhammad bin Abi Bakar Ba'abad Asy-Syibami (Imam Abdurahman Assaqqaf mengunjunginya setiap tahun).

Sedangkan murid-muridnya ialah Sayid Muhammad bin Hasan Jamalullail, Abdurahman bin Muhammad Khatib dan anaknya Syaikh Muhammad bin Abdurahman Khatib, Ahmad bin Umar Shahib Masof, Saad bin Ali Madihij, Abdurahman bin Ali Khatib, Abdullah bin Muhammad Basarahil, Abdullah bin Ahmad al-Amudi dan lainnya yang tersebar di penjuru Hadramaut. Beliau adalah seorang mursyid, membangun masjid dan mewaqafkannya, mengeluarkan infaq untuk kaum lemah, janda dan anak yatim setiap hari.

Syaikh Abdurahman Assaqqag adalah seorang pemimpin para wali al-arifin, seorang waliyullah yang menguasai ilmu ketuhanan yang sempurna, beliau seorang ahli mujahadah, bahkan tidak tidur selama tiga puluh tiga tahun. Ketika ditanya sebabnya, Imam Abdurahman mnejawab: Bagimana aku dapat tidur, bila aku miring ke kanan aku melihat surga dan bila kau miring ke kiri aku melihat neraka. Imam Abdurahman Assaqqaf berkumpul bersama Rasulullah saw dan para sahabatnya di setiap malam Senin, Kamis dan Jum'at sampai beliau wafat. Beliau tidak akan memutuskan suatu hokum sebelum para nabi, sahabat dan auliya' datang kepadanya untuk memutuskan perkara tersebut.

Imam Abdurahman Assaqqaf membaca alquran dalam sehari semalam delapan kali khatam, empat kali khatam di waktu malam hari dan empat kali khatam di waktu siang hari. Pada siang hari beliau dua kali khatam alquran antara waktu subuh dan dzuhur, satu kali khatam antara waktu dzuhur dan ashar yang dibacanya dalam dua rakaat shalat dan satu kali khatam yang dibacanya setelah waktu ashar. Beliau juga sering beribadah di sisi makam nabi Hud as sampai berbulan-bulan hanya dengan memakan segenggam roti.. Tempat beliau beribadah tersebut masih terpelihara sampai sekarang.

Para wali dan kaum ulama sholihin memberikan penghormatan kepada beliau dan mereka menyaksikan bahwa pada zamannya tidak ada satu orang pun yang dapat melebihi kedudukan beliau dari segala sisi. Mereka juga berkata bahwa anak-anak beliau adalah para wali quthub yang agung.

Imam Abdurahman Assaqqaf sering membaca kitab al-Wajiz dan al-Muhazzab dan hampir saja beliau hafal isi kitab tersebut. Beliau membaca kitab tersebut kepada gurunya al-Allamah Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Beliau pergi ke Nail dan membaca kitab al-Ihya, Ar-Risalah, al-Awarif kepada al-Faqih Muhammad bin Saad Basyahil dan Syaikh Muhammad bin Abi Bakar Ba'abad. Kemudian beliau pergi ke Aden untuk belajar kepada al-Qadhi Muhammad bin Said Kaban tentang ilmu nahwu dan shorof serta ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya. Beliau sangat menguasai ilmu ushul, ma'ani, bayan, tafsir, hadits sehingga mengangkat martabat beliau sebagai seorang guru besar dan ahli ibadah di zamannya. Di samping itu beliau berziarah dan shalat di masjid yang berada di seluruh Tarim pada setiap malam.

Imam Abdurahman Assaqqaf telah mencapai derajat kaum ahli hakikat, beliau telah dipakaikan khirqah yang membentengi dirinya dari tipuan dunia, Allah swt telah menghilangkan sifat cinta dunia dan sifat tercela dari hatinya, sebaliknya Allah swt menggantinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan kesungguhan dalam mengerjakan amalan-amalan hati. Beliau juga seorang petani kurma yang berhasil di Tarim dan Mispalah. Setiap menancapkan satu batang pohon kurma ke tanah, beliau membacakan surat Yasin sampai batang kurma yang akan ditanam habis.

Imam Abdurahman wafat pada hari Kamis tanggal dua puluh tiga Sya'ban tahun 819 hijriyah dan di makamkan pada hari Jum'at pagi.

Kata-kata mutiara Imam Abdurahman Assaqqaf di antaranya:

1. Obatnya hati adalah tidak tergantung pada makhluq.
2. Barang siapa yang tidak mempunyai wirid, maka ia seperti monyet.
3. Barang siapa yang tidak menelaah dan mempelajari kitab ihya, maka ia tidak punya rasa malu.
4. Semua manusia membutuhkan ilmu, ilmu membutuhkan amal, amal membutuhkan aqal, aqal membutuhkan taufiq dan taufiq adalah pemberian Allah swt. Setiap ilmu tanpa diamalkan adalah bathil, setiap ilmu dan amal tanpa iman naik mengawang-awang, setiap ilmu, amal dan iman tanpa cara untuk mengerjakannya ditolak, setiap ilmu, amal, iman dan cara mengerjakannya tanpa sifat wara' maka ia akan rugi.
5. Barang siapa tidak membaca kitab al-Muhazzab, maka ia tidak mengenal kaidah-kaidah madzhab.

22. Abu Bakar As-Sakran bin Abdurahman Assaqqaf.

Imam Abu Bakar As-Sakran lahir di Tarim. Beliau dibesarkan dan dididik dalam rumah kemuliaan, ketaqwaan dan ilmu. Beliau seorang yang hafal alquran dan menamatkannya pada setiap pagi hari. Imam Abu Bakar merupakan kesayangan ayah dan saudara-saudaranya. Beliau dinamakan As-Sakran karena jika sedang beribadah kepada Allah swt melupakan segala aktifitas lainnya tenggelam dalam suasana dzikir kepada Allah swt.

Berkata saudara beliau Syaikh Ahmad bin Abdurahman Assaqqaf: "Saya melihat mahkota guru besar berada di atas kepala saudaraku Abi Bakar". Syaikh Umar Muhdhar berkata: "Jika keluarga Abdurahman Assaqqaf diberi suatu kemuliaan maka cukuplah saudaraku Abu Bakar merupakan kemuliaan itu". Imam Abu Bakar As-Sakran berkata: "Derajatku sama dengan derajat kakekku Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam yang mempunyai maqam auliya". Beliau berkata pula: "Kakekku Ali bin Alwi telah memberi dua keistimewaan kepadaku, pertama aku mempunyai anak bernama Abdullah dan kedua aku mengetahui segala sesuatu yang berada antara Arasy dan Poros Bumi".

Imam Abu Bakar As-sakran adalah seorang yang sangat takut kepada Allah swt, beliau pernah menyendiri mengasingkan diri dari keramaian selama sebelas bulan tidak tidur baik malam maupun siang. Beliau dapat menyaksikan Ka'bah dan apa yang ada di sekelilingnya dari Tarim. Beliau seorang yang selalu tenggelam dalam zikir dan doa kepada Allah swt, bertawassul kepada para auliya' dan selalu bersikap khusnu zhon, banyak mendoakan anak-anaknya.

Syaikh Ali bin Abi Bakar As-Sakran dalam kitabnya 'al-Barkat al-Musyiqah' menyatakan bahwa: "… Beliau adalah salah satu wali besar ahli ma'rifah yang sempurna dalam jalan kefakiran, pemaaf dan penyantun, tempat mengalirnya ilmu-ilmu syariah tanpa bias dibendung, mempunyai kedudukan yang agung, suka berkhalwat, mengetahui alam malakut, dapat melihat para nabi, malaikat dan auliya, alam barzah dan penghuni serta kenikmatannya dengan kedua matanya dan beliau sering sekali berjumpa dengan Rasulullah saw. Penduduk Tarim berkata: "Syaikh Abu Bakar adalah pemberi syafa'at kami pada hari kiamat nanti".

Diantara keramatnya adalah: Dua orang laki-laki datang untuk berziarah ke Tarim. Keduanya sampai tepat pada hari Jum'at, dalam keadaan wajah yang pucat ditambah lagi dengan rasa lapar yang melilit perutnya ingin makan, maka ditemuinya Syaikh Abu Bakar yang saat itu sedang berada di Masjid. Ketika bertemu, Syaikh Abu Bakar langsung berkata kepada kedua tamunya: ambillah apa yang ada di dalam baju ini, maka setelah dibukanya terdapat roti yang masih hangat dan langsung kedua orang itu memakannya sampai kenyang".

Di lain waktu sebagian penduduk Tarim datang untuk berziarah dan menyampaikan maksud mereka yaitu mereka memerlukan gandum dan daging, pada saat itu juga tersedia gandum dan daging yang diminta.

Pada suatu hari seorang lelaki ingin meminang seorang wanita, Syaikh Abu Bakar berkata: "Lelaki ini tidak akan mengawini wanita tersebut, akan tetapi ia akan kawin dengan ibu wanita tersebut. Kejadian tersebut terbukti dengan cerainya ibu wanita itu dengan suaminya dan kawin dengan lelaki yang meminang anak gadisnya.

23. Umar Muhdhar bin Abdurahman Assaqqaf.

Imam Umar Muhdhar lahir di Tarim. Beliau dibesarkan dalam ketaatan kepada Allah swt dan dididik dalam asuhan ayahnya, maha guru kaum shalihin, al-Arif Rabbani, hafal alquran dan kitab Minhaj Ath-Tholibin seperti beliau hafal surat al-fatihah yang ia pelajari dari ayah dan gurunya. Beliau mempunyai daya hafal yang luar biasa, jika ia disodori kitab maka kitab tersebut dihafalnya dalam jangka waktu yang cepat.

Selain kepada ayahnya, beliau belajar fiqih kepada Syaikh Abu Bakar bin Muhammad Bafadhal. Kepada gurunya tersebut beliau mempelajari kitab Minjah, Tanbieh, Ihya dan Tafsir yang hampir saja beliau menghafal kitab-kitab tersebut. Khusus ilmu bathin beliau belajar kepada ayahnya.

Imam Umar Muhdhar seorang yang banyak bermujahadah, riyadhoh dalam amal-amal soleh, meninggalkan kesenangan dan kenikmatan, sedikit makan baik malam maupun siang, bahkan beliau tidak makan kurma selama tiga puluh tahun. Beliau berkata: "Kurma dapat menimbulkan nafsu syahwat, karena itu aku melarang diriku sendiri untuk makan kurma". Beliau menunaikan ibadah haji ke Baitullah selama empat puluh hari perjalanan tanpa merasakan makanan dan air, akan tetapi kekuatannya tidak berkurang dan tidak merasa lelah dalam perjalanan tersebut. Beliau pernah tinggal di sisi makam nabi Hud as selama satu bulan tidak makan kecuali hanya beberapa ekor ikan.

Seperti saudaranya Abu Bakar As-Sakran, beliau juga menguasai ilmu-ilmu tentang ketuhanan dan alam malakut serta rahasia alam gaib. Keadaan tersebut mulai diketahui sejak ayahnya masih hidup. Maka ayahnya berkata: "Kami temukan pada Umar sesuatu yang membuat kami mengetahui bahwa ia termasuk dari golongan auliya' Allah". Beliau berkata: "Sesungguhnya saya telah diberi tiga kedudukan oleh Allah swt, pertama kedudukan Rasulullah saw, kedua kedudukan ayahku Abdurahman, …". Beliau dapat membaca lafadz 'al-Lathief' dalam satu nafas sebanyak seribu kali, begitu juga lafadz 'Ya Hafidz".

Murid-murid Imam Umar Muhdhar yang utama di antaranya Syaikh Abdullah Alaydrus dan saudaranya Syaikh Ali bin Abi Bakar As-Sakran, Syaikh Ahmad bin Abi Bakar, Syaikh Ahmad bin Umar bin Ali bin Umar bin Ahmad bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam, Sayid Husin bin al-Faqih Ahmad bin Alwi, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Ali, al-Faqih Muhammad bin Ali Bazaqfam, Syaikh Abu Bakar bin Abi Qubail.

Pada zamannya, tidak ada satu orang pun yang dapat melebihi keutamaannya. Sesungguhnya marah beliau adalah marahnya penguasa langit dan bumi dan ridho beliau adalah ridhonya penguasa langit dan bumi. al-Allamah Muhammad bin Ali bin Alwi Khirid berkata: "Saya mendengar ayahku berkata: Sesungguhnya pada diri Syaikh Umar terpelihara delapan puluh macam karomah".

Berkata Syaikh Abdullah Alaydrus: 'Suatu hari saya mendengar Syaikh Umar berkata: Jika dikumpulkan semua keluarga Ba'alawi yang ada dan ditimbang, maka timbangan tersebut sama dengan timbangan saya seorang diri". Berkata Sulthonah Az-Zubaidiyah: "Saya melihat Syaikh Umar Muhdhar bin Abdurahman berada di suatu qubah dari cahaya yang naik menuju langit dan semua auliya' berada di bawahnya, sedangkan ia di atasnya seperti bintang".

Imam Umar Muhdhar wafat ketika sedang sujud pada shalat dzuhur hari Senin tanggal dua belas Dzulqoidah tahun 833 hijriyah dan di makamkan di Tarim.

24. Abdullah Alaydrus bin Abi Bakar As-Sakran.

Imam Abdullah lahir di Tarim pada tanggal sepuluh Dzulhijjah tahun 811 hijriyah. Kakeknya Abdurahman Assaqqaf merasa senang dengan kelahirannya dan berkata: Dia adalah seorang sufi dan gelarnya Alaydrus. Alaydrus adalah gelar auliya dan nama seorang ahli sufi besar. Beliau pemimpin para sufi di zamannya, sesuai dengan doa ayahnya yang meminta kepada Allah dalam khalwatnya agar memberinya keturunan yang soleh dan berbakti, mempunyai derajat dan nama besar.

Kakeknya wafat ketika ia berusia delapan tahun dan selanjutnya beliau dididik oleh ayahnya dengan didikan yang sempurna. Ketika berusia enam belas tahun ayahnya pun wafat dan selanjutnya beliau dididik oleh pamannya Syaikh Umar Muhdhar dan menikahkan dengan anak perempuannya. Pamannya selalu mengajarkan jalan para ulama sholihin dan memakaikannya pakaian suf, Syaikh Abdullah berkata: "Saya diajari oleh pamanku tentang rahasia nama-nama Allah dan saya belajar pula kepadanya ilmu-ilmu hitungan". Beliau belajar alquran kepada Syaikh Muhammad bin Umar Ba'alawi, belajar fiqih kepada al-Faqih Saad bin Ubaidillah bin Abi Ubaid, Syaikh Abdullah Baharawah, al-Faqih Abdullah Baghusair, al-Faqih Ali bin Muhammad Abi Ammar.

Imam Abdullah mulai bermujahadah ketika berusia tujuh tahun, beliau juga pernah berpuasa selam tujuh tahun dan berbuka hanya dengan tujuh butir kurma, tidak makan apapun selain itu. Beliau berkata: "Pada awalnya aku menelaah kitab-kitab fiqih dan mendorong aku untuk bermujahadah dengan memperbanyak lapar, walaupun ibuku menyuruhku untuk makan". Beliau pernah lebih dua puluh tahun tidak tidur baik malam maupun siang, sehingga derajat beliau menjadi Syaikhul Akbar, beliau selalu menutup diri dari ketenaran.

Murid-murid Imam Abdullah di antaranya saudaranya Syaikh Ali bin Abi Bakar Sakran, Syaikh Umar bin Abdurahman Shahibul Hamra', Syaikh Abdullah bin Ahmad Baaktsir, Sayid Ahmad Qasam bin Ali Syaibah, Syaikh Muhammad bin Ali al-Afif al-Hajrani. Beliau selalu melazimkan membaca kitab Ihya Ulumuddin dan hampir saja beliau hafal kitab tersebut serta menganjurkan kepada murid dan sahabatnya untuk membaca dan mengkajinya. Sebaliknya beliau melarang sahabatnya untuk mengkaji kitab Futuhat al-Makiyyah dan beliau memerintahkan untuk berkhusnu zhon saja kepada Syaikh Muhyiddin Ibnu Arabi bahwa beliau adalah salah satu auliya' Allah.

Berkata Syaikh Jamaluddin Az-Za'faroni: "Syaikh Abdulloh adalah ayat dari ayat-ayat Allah, kakeknya Abdurahman Assaqqaf sangat menyayanginya dan memberi rahasia ilmu kepadanya". Berkata Syaikh Abu Bakar As-sakran: "Anakku Abdullah adalah salah satu sufi besar, bau harum dari harumnya Rasulullah saw, salah satu wali quthub". Sedangkan pamannya Syaikh Umar Muhdhar berkata: "Sesungguhnya aku kawinkan putriku dengan anak saudaraku karena pada beliau terdapat kehormatan semua bani Alawi, beliau telah menjadi wali quthub pada usia tujuh tahun".

Imam Abdullah menginfaqkan hartanya untuk kaum fuqara dan masakin, sangat tawadhu' terhjadap kaum faqir miskin, tegas terhadap para penguasa sehingga para raja cinta dan tunduk kepadanya, lembut perkataannya. Berkata Syaikh Izzudin bin Abdi salam: "Tidak ada orang yang keramatnya sama dengan maqom al-Quthub Ar-Rabbani Abdul Qadir Jailani kecuali Syaikh Ali Husin As-Sadzilli dan Syaikh Abdullah bin Abi Bakar al-Alaydrus". Di antara keramatnya adalah beliau dapat berbicara dengan orang yang telah meninggal dunia, berjalan di atas air, berbicara dengan bahasa hewan, doanya mustajab seketika, melihat sesuatu yang sangat jauh hanya dengan membalikkan hijab, dapat melihat manusia yang mempunyai sifat seperti binatang sebagaimana wujud aslinya.

Kitab yang dibaca di antaranya Tanbieh, Minhaj, Khulashoh. Dalam hal ilmu tauhid dan hakikat, beliau berkata dengan perkataan yang lembut: "Jika aku ingin, aku dapat menafsirkan huruf alif hingga seratus jilid, tapi itu tidak aku lakukan". Beliau mengarang kitab berjudul 'al-Kibrit al-Ahmar' dan mensyarahkan qasidah yang dikarang oleh pamannya Syaikh Umar Muhdhar.

Sebagian ulama kasyaf melihat bahwa Rasulullah saw memuji Syaikh Abdullah dengan pujian yang agung, yaitu: "Abdullah adalah anakku, rahasiaku , darah dagingku, hidupku, tulangku, pewaris sunnahku"

Imam Abdullah Alaydrus wafat pada hari Minggu sebelum waktu zawal tanggal dua belas Ramadhan tahun 865 hijriyah.

25. Ahmad bin Abi Bakar As-Sakran.

Imam Ahmad lahir di Tarim. Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahnya. Beliau juga seorang yang hafal alquran yang ia pelajari dari Syaikh Muhammad bin Umar Ba'alawi. Melazimkan membaca lafadz sahadat tujuh puluh ribu kali setiap harinya. Selain ayahnya beliau dididik oleh pamannya Syaikh Umar Muhdhar. Dari pamannya beliau belajar ilmu fiqih, tasawuf dan ilmu hakikat. Di samping kepada pamannya Imam Ahmad belajar kepada Sayid Muhammad bin Hasan Jamalullail, Syaikh Said Ba'ubaid, keluarga Baqasyir dan keluarga Baharmi dan kepada saudaranya Syaikh Abdullah Alaydrus.

Beliau mahir dalam ilmu hadits, fiqih dan ushuluddin, rahasia nama-nama Allah, ilmu aufaq dan huruf. Murid-murid beliau di antaranya Abu Bakar al-Adeni , sehingga beliau berkata::Sesungguhnya Syaikh Shahabuddin al-Faqih Ahmad bin Syaikh Abu Bakar Sakran adalah berita gembira yang sempurna dan penghulu manusia yang bersih suci, cinta kepada amal kebajikan". Murid yang lainnya adalah Husin bin Abdullah Alaydrus, al-Faqih Abdullah bin Abdurahman Balahij, al-Allamah Muhammad bin Abdurahman Bilfaqih. Imam Ahmad bin Abi Bakar wafat di Lisik tahun 869 hijriyah dikuburkan di Zanbal Tarim.

26. Ali bin Abi Bakar As-Sakran.

Imam Ali lahir di Tarim pada tahun 818 hijriyah, hafal alquran dan membacanya mujawwad dengan dua riwayat yaitu Abi Amru dan Nafi', hafal kitab al-Hawi karangan al-Quzwani (baik kitab fiqah dan kitab nahwu), guru besar ilmu syariat.

Kakeknya meninggal ketika ia berusia tiga tahun. Ketika ibunya mengandung Syaikh Ali, ayahnya Syaik Abu Bakar As-sakran memberitahukan kepada isterinya bahwa anak yang dikandungnya mempunyai maqam yang agung. Syaikh Abu Bakar sakran berkata: "Sesungguhnya ketika anakku sedang dalam kandungan telah terkumpul pada diri Syaikh Ali dua jenis ilmu, akan tetapi hal tersebut masih tersembunyi dan akan terlihat sebelum rambutnya memutih". Dan ketika Syaikh Ali lahir berkata kakeknya: "Sesungguhnya kelahiran anak Abu Bakar adalah kelahiran seorang sufi". Pada malam ke tujuh kelahirannya berkata saudaranya Syaikh Abdullah Alaydrus: "Namakan ia dengan Ali".

Sesudah ayahnya wafat beliau diasuh oleh pamannya Syaikh Umar Muhdhar yang menjaganya dari hal-hal yang merusak serta mendidiknya dengan kebaikan. Ketika pamannya wafat, beliau masuk khalwat dan mendengar suatu perkataan 'Ya ayyuhannafsu mutmainah irji'i ila robbika rodhiyatammardiyah' kemudian beliau keluar dari khalwatnya dan mambaca kitab Ihya Ulumuddin, maka dibacanya kitab tersebut sampai dua puluh lima kali tamat dan pada setiap khatam dalam mambaca kitab , saudaranya Syaikh Abdullah Alaydrus mengundang para fuqara dan masakin untuk mengadakan tasyakuran.

Guru-guru beliau di antaranya Syaikh Saad bin Ali, Syaikh Shondid Muhammad bin Ali Shohib Aidid, belajar fiqih dan hadits kepada al-Faqih Ahmad bin Muhammad Bafadhal. Beliau juga belajar ke Syihir, Gail Bawazir. Di Gail Bawazir beliau belajar kepada para fuqaha dari keluarga Ba'amar, al-Faqih Muhammad bin Ali Ba'adillah. al-Allamah Ibrahim bin Muhammad Baharmiz, Syaikh Abdullah bin Abdullah bin Abdurahman Bawazir, dan tinggal di sana selama empat tahun. Setelah itu beliau pergi ke Aden belajar kepada Imam Mas'ud bin Saad Basyahil, kemudian menunaikan ibadah haji ke Baitillah pada tahun 849 hijriyah dan tinggal di rubat Baziyad serta belajar kepada ulama di kota tersebut. Kemudian beliau ziarah ke makam Rasulullah saw dan membaca kitab al-Bukhori kepada Imam Zainuddin Abi Bakar al-Atsmani di masjid nabawi.

Murid-murid Imam Ali di antaranya anak-anaknya Umar, Muhammad, Abdurahman, Alwi, Abdullah dan Sayid Umar bin Abdurahman Shahibul Hamra', Syaikh Abu Bakar al-Adeni, Syaikh Muhammad bin Ahmad Bafadhal, Syaikh Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin Syaikh Abdullah al-Iraqi, Syaikh Muhammad bin Sahal Baqasyir, Syaikh Muhammad bin Abdurahman Basholi.

Imam Ali seorang auliya' yang mempunyai kefasihan lidah, terkumpul padanya keutamaan dan kepemimpinan, beliau juga banyak mengkaji kitab 'Tuhfah' dan mengamalkan isinya, banyak shalat malam dan sesudahnya beliau banyak menangis, qana'ah, tawadhu'. Di antara keramatnya, jika shalat beliau lupa akan kehidupan duniawi dan tidak pernah membicarakan dunia dalam majlisnya. Beliau pernah ditanya oleh gurunya Syaikh Said bin Ali pada keadaan menghadapi sakaratul maut: 'Apa yang engkau tinggalkan? Beliau menjawab hanya kamar ini.

Berkata saudaranya Abdullah Alaydrus: "Orang yang paling dekat hatinya kepada Allah adalah hati saudaraku Ali". Berkata pula Syaikh Abdullah Alaydrus: "Sesungguhnya apayang ada pada diriku karena saudaraku Ali, jika terbenam sinar matahari saudaraku Ali, maka terbenam pula sinar matahariku". Berkata Syaikh Umar Muhdhar kepada anaknya Fathimah sebelum dinikahi dengan Syaikh Ali: "Wahai Fathimah, nanti engkau akan menikah dengan seorang wali quthub".

Syaikh Muhammad bin Hasan Jamalullail berkata: "Dalam shalat aku berdoa kepada Allah swt agar diperlihatkan kepada seseorang yang mempunyai rahasia-rahasia-Nya dalam zaman ini, maka aku melihat dalam mimpiku seorang lelaki mengambil tanganku dan membawanya kepada Syaikh Ali".

Imam Ali seorang yang berjalan di atas thariqah kefakiran yang hakiki, dalam tawafnya beliau berdoa: "Allahummajlni nisfal faqir" , tidak mempunyai perasaan benci kepada satu orang pun, membaca hizib di antara isya dan setelah fajar hingga terbit matahari, beliau hafal alquran dalam waktu empat puluh hari. Kitab yang telah dibacanya: Riyadhus Salihin, Minhajul Abidin, al-Arbain, Risalah al-Qusyairiyah, al-Awarif al-Ma'arif, I'lamul Huda, Bidayatul Hidayah, al-Muqtasid al-Asna, al-ma'rifah, Nasyrul Mahatim, Sarah Asmaul Husna dan lainnya.

Sebagaian ulama berkata: "Sesungguhnya memandang beliau menghilangkan kekotoran jiwa, salah satu keistimewaan beliau dapat meruntuhkan gunung, kedudukan dan rahasia al-Faqih al-Muqaddam terdapat padanya". Berkata Imam Nuhammad bin Ali Khirid: "Memandang beliau adalah obat bagi yang melihat dan perkataannya obat penawar yang mujarrab".

Imam Ali wafat pada hari Minggu tanggal dua belas Asysyuro tahun 895 hijriyah dalam usia 77 tahun.



NASAB AHLUL BAIT NABI DARI KELUARGA ALAWIYIN
0 komentar Diposkan oleh Alfaqir Al-Aidid di 06:09

1. Ali Bin Abi Thalib

Imam Ali adalah orang yang pertama kali masuk Islam. Abu Ya'la meriwayatkan dari Ali, bahwa Ali telah berkata: "Rasulullah diutus pada hari Senin dan aku masuk Islam pada hari Selasa."

Abdulbirr dalam kitabnya yang berjudul al-Isti'ab mengetengahkan sebuah hadits yang berasal dari Imam Ali , bahwa Rasulullah saw berkata kepada Siti Fatimah ra: 'Suamimu adalah orang yang terkemuka di dunia dan akhirat, ia sahabatku yang pertama memeluk Islam, yang paling banyak ilmunya dan paling besar kesabarannya'

Dalam hal nasab, seperti diriwayatkan oleh Thabrani, bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda: "Allah menciptakan keturunan setiap Nabi dari tulang sulbinya sendiri, namun Allah menciptakan keturunanku dari tulang sulbi Ali bin Abi Thalib."

Hal ini diperkuat dengan hadits yang bersumber dari Umran bin Hushain, bahwa Rasulullah telah berkata: "Apakah yang kamu inginkan dari Ali, apakah yang kamu inginkan dari Ali, apakah yang kamu inginkan dari Ali? Sesungguhnya Ali dariku dan aku darinya. Ia adalah pemimpin semua orang mukmin sesudahku."

Ibnu Abbas ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw menyatakan: 'Manusia diciptakan dari berbagai jenis pohon, sedang aku dan Ali bin Abi Thalib diciptakan dari satu jenis pohon (unsur). Apakah yang hendak kalian katakan tentang sebatang pohon yang aku sendiri merupakan pangkalnya, Fatimah dahannya, Ali getahnya, al-Hasan dan al-Husein buahnya, dan para pencinta kami adalah dedaunannya! Barangsiapa yang bergelantung pada salah satu dahannya ia akan diantar ke dalam surga, dan barangsiapa yang meninggalkannya ia akan terjerumus ke dalam neraka."

Imam Ali bin Abi Thalib wafat sebagai syahid pada hari Jum'at tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriyah ketika sedang melaksanakan sholat Subuh. Beliau dikarunia lima belas orang anak laki-laki dan delapan belas orang anak perempuan:
-Hasan



-Husein Ibunya Siti Fathimah binti Rasul saw.
-Muhsin (meninggal waktu kecil)
-Muhammad al-Hanafiah (Menurut satu pendapat keluarga Ba Qasyir di Hadramaut adalah keturunannya)
-Abbas
-Usman Syahid bersama saudaranya Husein
-Abdullah Ibunya ummu Banin binti Hazam al-Kilabiyah
-Ja'far
-Abdullah Ibunya Layla binti Mas'ud al-Nahsaly
-Abu Bakar
-Yahya Ibunya Binti Umais al-Khosmaiy
-Aun
-Umar al-Akbar (Ibunya ummu Habibah al-Taghlibiyah)
-Muhammad al-Ausath (Ibunya Amamah binti Abi Ash)
-Muhammad al-Asghor

Kelima belas anak laki-laki tersebut sesuai dengan pendapat al-Amiri, sedangkan Ibnu Anbah menambahkan nama: Abdurahman, Umar al-Asghor dan Abbas al-Asghor. Adapun yang membuahkan keturunan ada lima, yaitu: Hasan, Husein, Muhammad al-Hanafiyah, Abbas al-Kilabiyah dan Umar al-Tsa'labiyah.

Sedangkan anak perempuannya dalam riwayat yang disepakati berjumlah 18 orang, yaitu: Zainab, Ummu Kulsum, Ruqoyah, Ummu Hasan Ramlah al-Kubra, Ummu Hanni, Ramlah al-Sughro, Ummu Kulsum al-Sughro, Fathimah, Amamah, Khadijah, Ummu Khoir, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jamanah.

2. Siti Fathimah al-Zahra al-Batul.

Siti Fathimah lahir satu tahun sebelum kenabian dan meninggal dunia enam bulan sesudah ayahnya Rasulullah SAW meninggal, yaitu pada malam Selasa tanggal 3 Ramadhan tahun 11 Hijriyah.

Nama Fathimah berasal dari kata Fathman yang artinya sama dengan qath'an atau man'an, yang berarti 'memotong, memutuskan atau mencegah'. Ia dinamakan Fathimah karena Allah SWT mencegah dirinya dari api neraka, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: 'Sesungguhnya Fathimah adalah orang yang suci farajnya, maka Allah haramkan atas dia dan keturunannya akan api neraka.'

Al-Nasai meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya putriku Fathimah ini adalah seorang manusia-bidadari. Dia tidak haid dan tidak pula mengeluarkan kotoran. Karena itulah ia dinamakan al-Zahra atau 'yang suci', sebab ia tidak pernah mengeluarkan darah, baik dalam haid maupun sesudah melahirkan (nifas). Pada saat melahirkan, ia mandi dan kemudian shalat sehingga ia tidak pernah luput dari melaksanakan shalat. Adapun sebutan al-Batul baginya itu adalah karena ia merupakan wanita yang paling menonjol di masanya dalam hal keutamaan, agama dan keturunan.

Dikemukakan pula oleh al-Thabrani, bahwa Rasulullah SAW bersabda: " Tiap anak itu bernisbat kepada keturunan bapaknya, kecuali putra Fathimah, akulah wali mereka dan akulah ashabah mereka". Dalam riwayat lain yang sahih disebutkan: "Setiap anak itu mengikuti garis keturunan bapaknya kecuali anak-anak Fathimah , sebab akulah ayah mereka dan ashabah mereka".

3. Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib.

Sayyidina Hasan lahir di Madinah sembilas belas hari sebelum peristiwa perang Badar. Beliau adalah cucu dan buah hati Rasulullah. Rasulullah mengakikahkan Hasan pada hari ketujuh dari kelahirannya. Sayyidina Hasan , sangat mirip sekali dengan Rasulullah, yaitu dari mulai pusarnya sampai kepalanya. Sedangkan Sayyidina Husien mirip beliau mulai dari pusar ke bawah.

Beliau hidup pada masa Rasulullah selama 8 tahun dan bersama ayahnya selama 29 tahun dan dibaiat menjadi khalifah pada tahun 41 Hijriyah ketika umur beliau 37 tahun. Beliau wafat pada tahun 49 Hijriyah dan dimakamkan di Baqi. Menurut al-Amiri, beliau dikaruniai sebelas anak laki-laki: Abdullah, Qasim, Hasan Mutsanna, Zaid, Umar, Abdullah, Abdurahman, Ahmad, Ismail, Husin dan Aqil, dan seorang anak perempuan bernama Ummu Hasan. Sedangkan yang meneruskan keturunan Imam Hasan adalah: Zaid dan Hasan Mutsanna.

4. Husein Bin Ali Bin Abi Thalib.

Sayyidina Husein (Abu Abdillah) adalah cucu dan buah hati Rasulullah. Ia lahir pada hari kelima dari bulan Sya'ban tahun keempat hijriyah.

Al-Hakim mengemukakan sebuah hadits dalam kitab sahihnya, yang bersumber dari sahabat yahya al-'Amiri, bahwa Rasulullah SAW bersabda: " Husein dariku dan aku dari Husein. Ya Allah cintailah orang yang mencintai Husein. Husein adalah salah seorang asbath."

Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Ibnu Sa'ad, Abu Ya'la serta Ibnu Asakir dari Jabir bin Abdullah: "Saya telah mendengar Rasulullah bersabda: 'Barangsiapa suka melihat seorang pemimpin para pemuda ahli surga, maka hendaklah ia melihat kepada Husein bin Ali.'"

Sayyidina Husein gugur sebagai syahid, pada hari Jum'at, hari kesepuluh (Asyura) dari bulan Muharram, tahun enam puluh satu Hijriyah di padang Karbala –suatu tempat di Iraq yang terletak antara Hulla dan Kuffah.

Ibnu Hajar memberitahukan sebuah hadits dari suatu sumber yang diriwayatkan dari Ali, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda " Pembunuh Husein kelak akan disiksa dalam peti api, yang beratnya sama dengan siksaan separuh penduduk dunia."

Abu Na'im meriwayatkan bahwa pada hari terbunuhnya Sayyidina Husein, terdengar Jin meratap dan pada hari itu juga terjadi gerhana matahari hingga tampak bintang-bintang di tengah hari bolong. Langit di bagian ufuk menjadi kemerah-merahan selama enam bulan, tampak seperti warna darah.

Sayyidina Husein sungguh telah memasuki suatu pertempuran menentang orang yang bathil dan mendapatkan syahidnya di sana. Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein yang meneruskan keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar 'Zainal Abidin'. Sedangkan Muhammad, Ja'far, Ali al-Akbar, Ali al-Ashgor , Abdullah, tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya sebagai syahid di karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab, Sakinah dan Fathimah.

5. Ali Zainal Abidin.

Sayyidina Ali Zainal Abidin dilahirkan di Madinah pada hari Kamis tanggal 5 Sya'ban tahun 38 Hijriyah, yaitu pada masa pemerintahan kakeknya Ali Bin Abi Thalib.

Sayyidina Ali Zainal Abidin ialah seorang yang kekhusyu'annya dalam wudhu', shalat dan ibadah sangatlah menakjubkan. Dalam sehari semalam ia shalat (sunnah) seribu raka'at, yang ia kerjakan sampai akhir hayatnya. Ia sangat takut kepada Allah, sampai-sampai bila ia berwudhu' maka menjadi pucat dan gemetarlah seluruh anggota badannya. Ketika ditanya, kenapa tuan menjadi demikian? Ia menjawab: Tahukah kalian di hadapan siapakah aku akan berdiri?

Ia juga dikenal dengan sebutan al-Sajjad (yang banyak sujud). Di antara putra Sayyidina Ali Zainal Abidin ialah:
-Muhammad al-Baqir Ibunya Fathimah binti Hasan bin Ali bin Abi
-Abdullah al-Bahir Thalib.
-Zaid (Sohibul Mazhab Syi'ah Zaidiyah, mempunyai anak Isa dan Yahya)

-Umar al-Asyrof
-Ali Ibunya bernama Zajlan
-Husein al-Ashgor (Ibunya bernama Sa'adah)

Keenam nama di atas mempunyai keturunan.

1. Husein al-Akbar
2. Qasim
3. Hasan
4. Sulaiman
5. Abdurahman.

Sayyidina Ali Zainal Abidin wafat pada tahun 94 Hijriyah, dalam usia 58 tahun dan dimakamkan di Baqi'.

6. Muhammad al-Baqir.

Beliau dilahirkan pada tahun 59 Hijriyah di Madinah.Imam Muhammad al-Baqir adalah seorang 'arif billah yang sangat luas ilmunya. Ia mendapatkan gelar 'al-Baqir' karena ia telah baqqara (membelah) ilmu, sehingga ia dapat mengetahui asal dan rahasia ilmu. Masa kehidupannya penuh dengan pekerjaan-pekerjaan besar, di antaranya dibukanya lembaga-lembaga keilmuan, pembahasan ilmiah dan sastra. Berdasarkan ijma' Bukhari dan Muslim putera Muhammad al-Baqir,empat orang yaitu:

1. Ja'far al-Shodiq
2. Abdullah
3. Ibrahim
4. Keduanya (2 dan 3) meninggal di waktu kecil
5. Zaid ( tidak mempunyai keturunan)
6. Ali
7. Abdullah

Keturunan Muhammad al-Baqir hanya melalui Ja'far al-Shadiq. Maka orang yang mengaku bernasab kepada Muhammad al-Baqir tanpa melalui Ja'far al-Shadiq adalah seorang pendusta.

7. Ja'far al-Shadiq.

Asy-Syarif Ahmad bin Muhammad Sholih al-Baradighi mengatakan bahwa nasab para sayyid/ syarif di Hadramaut berpangkal pada nasab Imam Ja'far al-Shadiq melalui Muhammad bin Ali Uraidhi. Ia diberi gelar gelar 'al-Shadiq' karena kebenarannya dalam kata-katanya. Ia juga diberi nama ' Amudusy-Syaraf ' (tiang kemuliaan).

Ibundanya ialah Furwah binti Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar al-Shiddiq. Sedangkan ibunda Furwah ialah Asma binti Abdurahman bin Abu Bakar al-Shiddiq. Ia pernah berkata: Aku dilahirkan al-Shiddiq dua kali!. Imam Ja'far al-Shaddiq mempunyai anak:
Abdullah
Abbas
Yahya
Muhsin Tidak mempunyai keturunan
Ja'far
Hasan
Muhammad al-Ashgor

Sedangkan yang memberi keturunan:

1. Ismail (Sohibul Mazhab Syi'ah Ismailiyah)
2. Muhammad al-Akbar (gelarnya al-Dibaj)
3. Ishaq (gelarnya al-Mu'taman)
4. Musa al-Kadzim
5. Ali (gelarnya al-Uraidhi)

Imam Ja'far Ash-Shaddiq wafat pada tahun 148 Hijriyah.

8. Ali al-Uraidhi.

Beliau diberi gelar al-Uraidhi sebagai nisbah kepada al-Uraidh yaitu nama suatu negeri yang terletak pada jarak 4 mil dari kota Madinah al-Munawwarah. Imam Ali al-Uraidhi adalah putera terkecil dari Imam Ja'far al-Shaddiq. Bersama saudaranya Muhammad bin Ja'far al-Shaddiq, pergi ke Mekkah di mana ia mengadakan pergerakan di sana.. Imam Ali al-Uraidhi mempunyai putera: Husein, Ja'far al-Akbar, Ja'far al-Ashgor, Isa, Qasim, Ali, Hasan, Ahmad dan Muhammad (gelarnya al-Naqib)

9. Muhammad al-Naqib.

Ia adalah Abu Isa Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja'far al-Shaddiq. Ia tinggal di Basrah, demikian juga anaknya Isa. Di sana pula Imam Ahmad al-Muhajir dilahirkan dan dibesarkan. Keturunan Imam Muhammad al-naqib ialah: Isa (gelarnya Ar-Rummi),Yahya, Hasan, Musa, Ja'far, Ibrahim, dan Ishaq dan Ali. Imam Muhammad al-Naqib wafat pada tahun 334 Hijriyah.

10. Isa al-Rummi.

Beliau ialah Abu Ahmad Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidhi bin Imam Ja'far al-Shaddiq. Imam Isa Ar-Rummi mempunyai 30 orang anak lelaki diantaranya adalah Imam Ahmad al-Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyin di Hadramaut. Adapun anak-anak Imam Isa al-Rummi adalah:

1. Abdullah, Abdurahman, Abdullah al-Akbar, Abdullah al-Ahwal, Abdullah al-Asghor, Daud, Yahya, Ali, Abbas, Yusuf, Hamzah, Sulaiman. Mereka tidak mempunyai keturunan.
2. Ismail, Zaid, Qasim, Hamzah, Harun, Yahya, Ali, Musa, Ibrahim, Ja'far, Ali al- Asghor, Ishaq, Husin, Abdullah, Muhammad, Isa, Ahmad al-Muhajir.

11. Ahmad bin Isa.

Beliau dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah. Di namakan al-Muhajir, karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadramaut sebagaimana kakeknya Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Sebelum hijrah ke tujuan akhirnya Hadramaut, beliau tinggal di Madinah selama satu tahun kemudian ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Dari Mekkah beliau pergi ke Hajrain, kemudian ke Husaisah yang jaraknya setengah marhalah dari Tarim.

Imam al-Muhajir adalah orang pertama yang datang ke Hadramaut berserta keluarganya yang berjumlah 70 orang. Ikut serta dalam perjalanan beliau anaknya yang bernama Ubaidillah dan ketiga cucunya Alwi, Jadid dan Basri. Imam Ahmad al-Muhajir wafat pada tahun 345 Hijriyah, dan dikarunia keturunan:

1. Muhammad ( Keturunannya tersebar di negri Baghdad )
2. Abdullah / Ubaidillah ( Abu Alawy ).

12. Ubaidillah bin Ahmad.

Imam Ubaidillah bin Ahmad mempunyai tiga orang anak, yaitu: Alwi, Jadid dan Basri. Salah satu keturunan dari Sayid Basri adalah al-Arif billah Syaikh Salim bin Basri, meninggal di Tarim tahun 604 Hijriyah dikuburkan sebelum maqam Alwi bin Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Di antara keturunan dari Sayid Jadid adalah al-Imam al-Muhaddits al-Faqih al-Hafidz Abi Jadid Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Jadid meninggal di Mekkah tahun 630 Hijriyah.

Keturunan Sayid Jadid dan sayid Basri terputus pada awal-awal kurun ke tujuh hijriyah. Sedangkan Sayid Alwi, keturunannya tersebar di Hadramaut yang sekarang dikenal dengan keluarga Abi Alawy dimana nama tersebut dinisbahkan kepada nama kakeknya.

13. Alwi bin Ubaidillah.

Beliau dilahirkan di Hadramaut, dan yang pertama kali dinamakan Alwi. Keturunannya tersebar ke penjuru negeri, sedangkan keturunan saudaranya terputus pada awal kurun ke tujuh hijriyah. Imam Alwi bin Ubaidillah hanya mempunyai satu orang anak bernama Muhammad.

14. Muhammad bin Alwi.

Beliau dilahirkan di Sumul pada tahun 390 Hijriyah. Dari Sumul beliau pindah ke Bait Jubair dan mempunyai tanah pertanian yang luas. Beliau seorang yang alim, soleh, menguasai ilmu fiqih, hadits dan tasawuf. Imam Muhammad bin Alwi wafat pada umur 56 tahun di bait Jubair dan dikarunia satu orang anak yang bernama Alwi.

15. Alwi bin Muhammad.

Imam Alwi bin Muhammad lahir di Bait Jubair yang mempunyai hawa yang sejuk dan air yang segar. Beliau adalah seorang yang soleh, alim dan berjalan pada rel Alquran dan Hadits. Imam Alwi wafat di Bait Jubair tahun 512 Hijriyah dan dikarunia dua orang anak: Salim (tidak mempunyai keturunan) dan Ali (yang dikenal dengan Khali' Qasam).

16. Ali Khali' Qasam bin Alwi.

Imam Ali diberi gelar Khali' Qasam sebagai nisbah kepada negeri Qasam yang merupakan tempat mereka di negeri Basrah, di mana dari tempat itu ia mendapat harta dan membeli tanah di dekat kota Tarim di Hadramaut dengan harga 20.000 dinar dan ditanami pohon kurma untuk mengenang kota Qasam di Basrah yang pada awalnya dimiliki oleh kakeknya al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa. Beliau adalah orang yang pertama dimakamkan di perkuburan Zanbal, Tarim dan dikaruniai tiga orang anak: Abdullah dan Husin ( tidak mempunyai keturunan) serta Muhammad ( dikenal dengan Shahib Mirbath ).

17. Muhammad Shahib Mirbath.

Yang pertama kali dijuluki 'shahib marbat' adalah al-Imam Waliyullah Muhammad bin Ali bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir. Soal gelar 'Shahib Mirbat' , karena beliau bermukim di suatu tempat yang disebut Mirbat di Dhafar setelah pindah dari Tarim. Sedangkan kata shahib yang sinonimnya kata 'maula' berarti seseorang yang bermukim atau berkuasa di suatu tempat. Waliyullah asy-syaikh al-Imam Muhammad Shahib Marbat dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4 orang anak laki-laki. Masing-masing bernama Abdullah, Ahmad, Alwi dan Ali. Abdullah dan Ahmad tidak menurunkan keturunan beliau. Sedangkan Alwi dan Ali yang menurunkan keturunan beliau (akan dijelaskan lebih lanjut). Sebagaimana disebut oleh penulis buku al-Masyra' al-Rawy, Sayyid Muhammad bin Ali adalah Syaikh Masyayikhil Islam (guru besar luar biasa ilmu agama Islam) dan 'Ilmul-'Ulama al-A'lam (Ilmunya kaum ulama kenamaan). Selanjutnya penulis buku tersebut mengatakan: " Seorang ulama ahli syariat dan thariqat dan guru besar terkemuka bagi kaum penghayat ilmu hakikat, ahli fiqih dan mufti negeri Yaman, seorang penasihat berbagai cabang ilmu dan pengetahuan agama di negeri itu …". Menyusul kemudian dua orang putera Sayyid Muhammad bin Ali yang pertama ialah Ali, ayah al-Ustadz al-A'dham al-Faqih al-Muqaddam dan yang kedua ialah Alwi, yang terkenal dengan sebutan 'Ammul al-Faqih al-Muqaddam. Dua orang itulah yang menjadi pangkal keturunan semua Sayyid kaum Alawiyin. Waliyullah al-Imam Muhammad Shahib Marbat wafat di Marbad pada tahun 556 hijriah.

18. Alwi (Ammu al-Faqih)

Waliyullah asy-syaik al-Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbat dijuluki 'Ammi al-Faqih' karena beliau adalah paman dari waliyullah al-Ustadz al-Mu'adzom Muhammad al-Faqih al-Muqaddam (satu-satunya anak lelaki dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad). Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad dilahirkan di kota Tarim. Dikaruniai 4 orang anak lelaki, masing-masing bernama:

1. Abdul Malik, yang keturunannya hanya berada di India dikenal dengan al-Azhamat Khan, yang menurunkan leluhur Wali Songo di Indonesia.
2. Abdullah
3. Abdurahman.
4. Ahmad.

Waliyullah Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad wafat di kota Tarim pada th 613 Hijriyah.

19. Ali Bin Muhammad Shahib Mirbath.

Waliyullah Asy-syaikh al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad dilahirkan di Tarim Hadramaut. Beliau hanya dikarunia seorang anak lelaki yaitu al-Ustadz al-Mu'adzom Muhammad al-Faqih al-Muqaddam. Dari satu-satunya anak lelaki beliau tersebut dapat menurunkan keturunan beliau sebanyak kurang lebih 75 leluhur Alawiyin. Waliyullah Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad wafat di kota Tarim pada tahun 593 hijriah.

20. Muhammad Bin Ali (al-Faqih al-Muqaddam)

Yang pertama kali dijuluki 'al-Faqih al-Muqaddam' adalah waliyullah Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Marbad. Soal gelar yang disandangnya, karena waliyullah Muhammad bin Ali seorang guru besar yang menguasai banyak sekali ilmu-ilmu agama diantaranya ilmu fiqih. Salah seorang guru beliau Ali Bamarwan mengatakan, bahwa beliau menguasai ilmu fiqih sebagaimana yang dikuasai seorang ulama besar yaitu al-Allamah Muhammad bin Hasan bin Furak al-Syafi'i', wafat tahun 406 Hijriah. Sedangkan gelar al-Muqaddam di depan gelar al-Faqih yang berasal dari kata Qadam yang berarti lebih diutamakan, dalam hal ini waliyullah Muhammad bin Ali sewaktu hidupnya selalu diutamakan sampai setelah beliau wafat maqamnya yang berada di Zanbal Tarim sering diziarahi kaum muslimin sebelum menziarahi maqam waliyullah lainnya.Waliyullah Muhammad bin Ali dilahirkan di kota Tarim, beliau anak laki satu-satunya dari Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbad yang menurunkan 75 leluhur kaum Alawiyin, sedangkan Imam Alwi bin Muhammad Shahib Marbad menurunkan 16 leluhur Alawiyin. Sayyid Muhammad bin Ali yang terkenal dengan nama al-Faqih al-Muqaddam ialah sesepuh semua kaum Alawiyin. Beliau dilahirkan pada tahun 574 H di Tarim. Beliau seorang yang hafal al-quran dan selalu sibuk menuntut berbagai macam cabang ilmu pengetahuan agama hingga mencapai tingkat sebagai mujtahid mutlak. Mengenai Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, Sayyid Idrus bin Umar al-Habsyi dalam kitabnya Iqdul Yawaqiet al-Jauhariyah mengatakan: " Dari keistimewaan yang ada pada Sayyidina al-Faqih al-Muqaddam adalah tidak suka menonjolkan diri, lahir dan batinnya dalam kejernihan yang ma'qul (semua karya pemikiran) dan penghimpun kebenaran yang manqul (nash-nash Alquran dan Sunnah). Penulis buku al-Masyra' al-Rawy berkata: "Beliau adalah seorang mustanbith al-furu' min al-ushul (ahli merumuskan cabang-cabang hukum syara' yang digali dari pokok-pokok ilmu fiqih. Ia adalah Syaikh Syuyukh al-syari'ah (mahaguru ilmu syari'ah) dan seorang Imam ahli hakikat, Murakiz Dairah al-Wilayah al-Rabbaniyah, Qudwah al-'Ulama al-Muhaqqiqin (panutan para ulama ahli ilmu hakikat),Taj al-A'imah al-'Arifin (mahkota para Imam ahli ma'rifat) dan dalam segala kesempurnaannya beliau berteladan kepada Amir al-Mukminin (Imam Ali bin Abi Thalib). Thariqahnya adalah kefakiran yang hakiki dan kema'rifatan yang fitrah." Imam al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali, wafat di kota Tarim tahun 653 hijriah.

google search