Sabtu, 21 Agustus 2010

Sayyid Aidid dan Maulid Rasulullah Saw. di Kota Palu

Perayaan tradisi maulid di Lembah Palu (Kota Palu, Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah), mulai dikenal sejak Pertengahan Abad Ke 19 atau sekitar tahun 1840-an yang dibawa oleh para saudagar keturunan arab yang berasal dari Cikoang-Makassar (keturunan dari hadramaud) yang mulanya dipelopori oleh beberapa orang diantaranya : Habib Sayyid Bahrullah bin Atiqullah, Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid (di Palu lebih dikenal sebagai “Karaeng”) dan merupakan generasi ke 34 dan 35 yang ber-nasab-kan langsung pada Rasulullah SAW.

Pada awalnya masyarakat lembah palu dipengaruhi oleh tradisi “Palaka” yaitu sebuah tradisi berupa persembahan sesajian bersifat animisme dan politeisme yang berbentuk segi empat. Dengan keberadaan ini, maka para pendahulu pelopor perayaan maulid berusaha mengislamkan masyarakat lembah palu (yang sebelumnya pengislaman lembah palu dilakukan oleh Datokarama) melalui tradisi perayaan maulid sebagai sebuah sarana dakwah bagi siar Islam dan sekaligus mengagungkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dengan jalan membentuk tempat atau sarana mauled berbentuk segi empat seperti Ka’bah dan menggunakan kubah seperti bentuk kubah Masjid, dan dalam pelaksanaannya dilakukan pembacaan pujian-pujian Sarafal A’nam sampai selesai.

Perayaan tradisi maulid pertama kali dilaksanakan di wilayah Kampung Baru yaitu tepatnya di Boyantongo dan Bungi dan awalnya diperkenalkan melalui kerabat-kerabat kerajaan atau Kekuasaan “Adat Patanggota” Lembah Palu, yang kemudian menyebar sampai ke Besusu, Pogego, Vunta (sekarang Tadulako), Talise, Sidondo, Dolo, Biromaru, Tawaeli, Pantoloan dan wilayah-wilayah Lainnya yang berada di Lembah Palu. Bahkan tradisi perayaan Maulid yang sekarang dikenal oleh Masyarakat Kaili sampai menyebar ke wilayah Pantai Timur Kabupaten Parigi Moutong, tepatnya di Kecamatan Parigi dan Kecamatan Ampibabo.

Meskipun perayaan Maulid ala Masyarakat Kaili hingga kini telah berkurang jumlahnya bila dibanding pada periode 70-an, tetapi hingga sekarang ini masih tetap hidup sebagai sebuah tradisi membesarkan hari kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi ini masih tetap dipertahankan oleh para keturunan habib-habib pelopor pendahulu perayaan mauled dan para keturunan murid-murid para habib-habib yang menyebarkan siar Islam tersebut, yang bertebaran di Lembah Palu dan Pantai Timur (wilayah Sulawesi Tengah).

Sebagai sebuah catatan akhir yang terpenting bagi kita semua adalah bagaimana usaha kita membesarkan siar Islam melalui Perayaan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang awal dan akhir zaman yaitu “Sayyidil Awalina wal Akhirina syahadati fiddun ya wamulukil ukhrah”

Sumber : Barahama Lasa Aidid, Abubakar Moh.Amin Aidid, Masyarakat Pengikut Karaeng dalam Perayaan Maulid Kota Palu, dan Keluarga Besar Habib Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al-Aidid Sulawesi Tengah

Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid - Wali keramat Pulang Panggang


Disebelah utara Jakarta terdapat gugusan kepulauan yang terdiri dari 108 pulau kecil, disebut Kepulauan Seribu. Satu diantaranya adalah Pulau Panggang, sekitar 60 km disebelah utara kota Jakarta. Pulau seluas 0,9 hektare itu bisa dicapai dalam waktu kurang lebih tiga jam dengan perahu motor dari pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara.

Disanalah Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid, yang juga dikenal sebagai Wali keramat Pulang Panggang. Ia adalah ulama dan muballigh asal Hadramaut yang pertama kali menyebarkan Islam di Pulang Panggang dan sekitarnya. Pada abad ke-18 ia bertandang ke Jawa untuk berda’wah bersama dengan empat kawannya :

1. Al-Habib Abdullah bin Muchsin Al-athas, Kramat Empang Bogor.
2. Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdor, Bondowoso, Surabaya.
3. Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Ampel, Surabaya.
4. Al-Habib Salim Al-Athas, Malaysia.


Al-Maghfurlah Habib Ali ke Batavia, sementara keempat kawannya masing-masing menyebar ke kota-kota dan negeri diatas. Al-Maghfurlah berda’wah dari Pulau Seribu sampai dengan Wilayah Pulau Sumatera yaitu Palembang.

Di Batavia , Almaghfurlah Habib Ali bermukim di Kebon Jeruk dan menikah dengan Syarifah setempat, Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far Al-Habsyi. Dari Perkawinannya itu dikaruniai seorang putera bernama Hasyim bin Ali Aidid.

Suatu hari Almaghfurlah mendengar kabar, disebelah utara Jakarta ada sebuah pulau yang rawan perampokan dan jauh dari da’wah Islam, yaitu Pulau Panggang. Beberapa waktu kemudian ia memutuskan untuk mengunjungi pulau tersebut. Ketika Al-Maghfurlah sampai di Pasar Ikan hendak menyeberang ternyata tidak ada perahu. Maka ia pun bertafakur dan berdo’a kepada Allah SWT, tak lama kemudian muncullah kurang lebih seribu ekor ikan lumba-lumba menghampirinya. Ia lalu menggelar sajadah di atas punggung lumba-lumba tersebut, kemudian ikan lumba-lumba mengiring beliau menuju Pulang Panggang. Demikianlah salah satu karomah Almaghfurlah Habib Ali, menurut cerita dari Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-athas kepada salah satu muridnya Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Alhaddad bahwa setiap Habib Ali hendak berda’wah beliau berdiri ditepi pantai Pasar Ikan dengan mengangkat tangan sambil bermunajat kepada Allah SWT, maka datang ikan lumba-lumba kurang lebih seribu ekor mengiring beliau disamping kanan, kiri, depan, belakang beliau dan mengantar sampai ketempat tujuan untuk berda’wah.

Sosoknya sangat sederhana, cinta kebersamaan, mencintai fakir miskin dan anak yatim. Bisa dimaklumi jika da’wahnya mudah diterima oleh warga Pulau Panggang dan sekitarnya. Ia mengajar dan berda’wah sampai kepelosok pulau. Bahkan sampai ke Palembang, Singapura dan Malaka.

Karomah lainnya, suatu malam, usai berda’wah di Keramat Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara, ia pulang ke Pulau Panggang. Di tengah laut, perahunya dihadang gerombolan perompak. Tapi, dengan tenang Almaghfurlah Habib Ali melemparkan sepotong kayu kecil ke tengah laut. Ajaib, kayu itu berubah menjadi karang, dan perahu-perahu perompak itu tersangkut di karang. Maka, berkat pertolongan Allah SWT itu, Almaghfurlah Habib Ali dan rombongan selamat sampai di rumahnya di Pulau Panggang.

Suatu hari, warga Pulau Panggang diangkut ke Batavia dengan sebuah kapal Belanda, konon untuk dieksekusi. Beberapa perahu kecil berisi penduduk ditarik dengan rantai besi ke arah kapal Belanda yang membuang sauh jauh dari pantai. Mendengar kabar itu, Almaghfurlah Habib Ali menangis, lantas berdo’a agar seluruh penduduk Pulau Panggang diselamatkan . Do’anya dikabulkan oleh Allah SWT. Rantai besi yang digunakan untuk menarik perahu berisi penduduk itu tiba-tiba putus, sehingga Belanda urung membawa penduduk ke Batavia.

Suatu malam, ia mendapat isyarat sebentar lagi ia akan wafat. Ketika itu sebenarnya ia ingin ke Palembang, namun dibatalkan. Dan kepada santrinya ia menyatakan, “ saya tidak jadi ke Palembang.” Benar apa yang ia katakan, keesokan harinya, 20 Zulkaidah 1312 H./1892 M. ia wafat, dan dimakamkan di sebuah kawasan di ujung timur Pulau Panggang.

Sesungguhnya, Jenazah almarhum akan dibawa ke Batavia untuk diketemukan Istri dan anaknya serta dimakamkan disana. Namun, ketika jenazah sudah berada di atas perahu yang sudah berlayar beberapa saat, tiba-tiba tiang layar perahu patah dan perahu terbawa arus kembali ke Pulau Panggang. Hal ini terjadi berturut-turut sampai tiga kali. Akhirnya, penduduk kampung memaknai peristiwa itu sebagai kehendak almarhum di makamkan di Pulau tersebut. Keesokan harinya setelah Almaghfurlah Habib Ali dimakamkan, beberapa orang dari penduduk Pulau Panggang memberi khabar kepada istrinya Syarifah Zahroh binti Syarif Muchsin bin Ja’far Al-Habsyi, istrinya menjawab “ Yah, saya sudah tahu, Habib Ali tadi telah datang memberi kabar kepada saya tentang meninggalnya dia dan dimakamkan di Pulau Panggang “.

Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid adalah seorang ulama yang langka, yang berani merintis da’wah di kawasan terpencil, dan berhasil. Demikianlah sekilas dari riwayat Al-Habib Ali bin Ahmad bin Zein Aidid.


Habib Husein bin Abdullah Aidid

Habib Husein bin Abdullah Aidid
[Habib Husein bin Abdullah Aidid]
Al Imam Al Alamah Al Arifbillah Husein bin Abdullah bin Hasan bin Ahmad bin Abu bakar Aidid mempunyai keberkahan yang melimpah, keadaannya mastur (tersembunyi), jiwanya bersih, dalam perjalanan hidupnya beliau meninggalkan kenangan yang indah dan beliau seorang yang sangat tinggi derajatnya dengan akhlak yang baik, lembut pergaulannya, mempunyai cahaya batin dan dzahir, Beliau mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan Habib Ali Bin Muhammad Al Habsyi.

Kelahiran, kehidupan dan pendidikannya---
Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid, dilahirkan di kota Ghurof pada tahun 1308 H.

Tatkala umurnya memcapai 9 tahun, beliau pergi ke tarim bersama ibunya mengunjungi rumah pamannya, Habib Muhammad bin Hasan bin Ahmad Aidid seorang yang mulia, yang mempunyai ilmu sangat luas untuk mengajarkan kepada Habib Husein bin Abdullah Aidid dan tinggal bersamanya selama beberapa tahun. kemudian ibunya meminta ijin kepada paman Habib Husein yaitu Habib Muhammad bin Hasan Aidid untuk membawa putranya ke Kota Sewun untuk menuntut ilmu Kepada Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi dan tinggal di Rubatnya yang mana pada saat itu telah banyak yang datang penuntut ilmu dari penjuru kota dan pamannya merestui, maka jadilah Habib Husein bin Abdullah Aidid sebagai pelajar di Rubat tersebut.

Sebagaimana diketahui, bahwa Rubat, Masjid, dan rumah Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi merupakan tempat tinggal para penuntut ilmu dan ulama. Beliau memberikan perhatian dan kasih sayang kepada Habib Husein Aidid seperti pelajar yang lain.

Setelah Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi wafat (Tahun 1333 H), saudara dari ibu Habib Husein bin Abdullah Aidid menginginkan Habib Husein Aidid untuk tinggal di Kota Madudah dan Habib Husein menyetujuinya, maka pada tahun 1333 H. Beliau Pergi dari Kota Sewun Ke Kota Madudah dan membangun Masjid serta rumah di tempat tersebut. Kemudian membuka Majelis Ta`lim pada hari Senin untuk umum, pada malam Jumat mengadakan Maulid, dan pada malam Kamis hadroh dengan dihadiri banyak orang. Kota Madudah menjadi manfaat atas kehadirannya.

Al-Habib Mustofa Al Muhdor dalam penulisan tentang diri Habib Husein mengatakan bahwa banyak orang yang mendapat petunjuk darinya dan sebagian ada yang mendapat kerugian karena tidak mengikutinya.

Tahun 1360 H, Habib Husein pindah ke Kota Sewun, disebabkan terjadinya pertentangan antara dua kelompok di kota Madudah. Habib Husein pada saat itu berusaha menengahi pertentangan tersebut dan berusaha mempersatukan diantara mereka, akan tetapi mereka menolaknya sehingga terjadi pertumpahan darah, setelah terjadi pertumpahan darah diantara dua kelompok tersebut, mereka sadar, akhirnya mereka mengikuti apa yang telah dianjurkan oleh Habib Husein.

Al-Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid pindah Ke Sewun setelah mendapat isyarat dari Mufti Hadramaut Habib Abdurrahman bin Ubaidillah Assegaf, Begitu juga Habib Mustofa Al Muhdor mengatakan kepadanya melalui orang-orang yang mencintainya, bahwa Habib Husein Lebih baik keluar dari kota Madudah. Kemudian Habib Husein tinggal disebelah barat kota Sewun dan membangun Masjid kecil serta rumah.

Pembacaan Maulid yang biasa diadakan Habib Husein di kota Madudah setiap hari Kamis kedua tiap bulan Rajab dipindakan ke kota Sewun dengan dihadiri banyak orang, para ulama, dan orang-orang ahli kebaikan sampai sepanjang hidupnya, kemudian setelah Habib Husein Wafat diteruskan oleh anaknya.

Al-Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid beberapa kali bepergian ke kota Mekah, Madinah, Yaman. Beliau pergi ibadah Haji sebanyak 14 kali dan membangun beberapa Masjid dalam perjalanannya.

Wafat---
Al-Habib Husein bin Abdullah bin Hasan Aidid terkena sakit yang ringan sebelum wafatnya pada tahun 1379 H di Wadi Aidid. Jenazah beliau dishalatkan di Masjidnya dan di Imami oleh Habib Muhammad bin Hadi Assegaf yang dihadiri oleh banyak Orang.

Kitab Yang Di Karang---

1. Wasoya - 1Jilid
2. As`ilah `Ilmiyah
3. Kalam Mantsur - 2 jilid
4. Diwa'an Syi'ir Jamini
5. Enam kitab Maulid Nabi Muhammad SAW, satu berbentuk pantun, syair, dua berbentuk prosa, tiga lagi masih berupa tulisan tangan (Kitab rawi maulidnya yang dicetak oleh Himpunan Keluarga Maula Aidid adalah Al`ithhrul afkhori Fii Dzikril Habibi Akbar dan Asshifatul Muhammaddiyah)
6. Doa dan Wirid Wirid
7. Khutbah Mimbariyah
8. Shalawat atas Nabi, yang berjudul Assholat Alfaidiyah Fissholat `Ala Khoiril Bariyyah

Habib Muhammad Bin Hasan Bin Ahmad Aidid.


Al-Habib Muhammad bin Hasan bin Ahmad Aidid mempunyai perangai yang terpuji dan mulia juga ilmuwan serta kewalian yang tak mungkin tertulis karena keluasan ilmunya.

Lahir pada malam berkah tanggal 25 Ramadhan tahun 1290 H. di Wadi Aidid, Tarim. Ketika dilahirkan ayahnya berada di Masjid Maula Aidid sedang menghadiri Khatamul Qur'an. Setelah mendengar kelahiran puteranya orang-orang serentak malam itu memukul gendang karena mendengar kabar gembira tersebut. Walaupun ayahnya mempunyai mata yang rabun, tapi beliau sangat gembira dalam hal ini.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mendapat pengasuhan serta pendidikan dari ayahnya, ayahnya sangat memperhatikan tarbiyah kepadanya, sehingga ayahnya banyak dirumah. Ketika berumur 6 tahun, selalu diajak ayahnya duduk di Masjid atau i'tikaf dan jika menemui salah seorang sholihin, ayahnya menyuruh cium tangan kepada orang sholihin tersebut dan meminta do'anya. Begitulah yang sering dilakukan ayahnya terhadapnya, sampai beliau sakit dan akhirnya wafat. Ayahnya wafat tahun 1297 H., sedangkan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid belum genap berumur 7 tahun.

Kemudian ibunya meneruskan pendidikan Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengirimnya belajar pada Syekh Abdurahman bin Muhammad bin Sulaiman Bahami di tempatnya Syekh Kutub Abdullah bin Abubakar Alaydrus hingga selesai mempelajari Al-Qur'an. Setelah menanjak dewasa beliau keluar Hadhramaut untuk mencari rezeki, bertemu, duduk dan mengambil ilmu dengan ulama-ulama besar khususnya di daerah Jawa, diantaranya Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, Al-Habib Alwi bin Muhammad Alhaddad, Al-Habib Muhammad bin Aqil bin Abdullah bin Umar bin yahya dan saudaranya Umar bin Agil bin Yahya, Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Husein bin Thahir serta banyak lagi dari ulama-ulama lainnya. Di Tarim diantaranya Al-Habib Abdurahman bin Muhammad Almasyhur yang disebutkan didalam Tuhfatul Mustafid, bahwasanya Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengambil ilmu darinya, selalu bersamanya, menshohibnya (menemaninya), menghadiri pelajaran-pelajaran dan majelis-majelisnya.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mempunyai hubungan erat dengan Al-Alamah Al-Habib Umar bin Hasan bin Abdullah Alhaddad karena sering berkunjung ke Al-Hawi, Tarim dan belajar bermacam-macam ilmu kepadanya sehingga mendapat ijazah darinya. Juga mempunyai hubungan yang erat dengan beberapa sayyid yang mempunyai keutamaan dan kewalian yang ada pada zaman itu, seperti Sayyid Al-Wali Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Alkaff, Syekh bin Idrus bin Muhammad Alaydrus, Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih, Muhammad bin Abdullah bin Umar bin yahya, Husein bin Umar bin Sahal Maula Dawilah.

Pada awal bulan Muharram tahun 1304 H. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mengadakan perjalanan dengan idzin dari guru-gurunya menuju Jawa, sehingga beliau banyak menimba ilmu pada saat berada di Jawa dari ulama-ulama ketika itu. Kemudian awal tahun 1309 H. beliau kembali kenegeri asalnya melalui kota Aden, dan menetap di kota Tarim bersama para ulama-ulama zaman itu seperti Assayyid Al-Alamah Abdurahman bin Muhammad bin Husein Almasyhur hingga wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur tahun 1320 H.

Setelah wafatnya Assayyid Abdurahman Almasyhur, beliau berkunjung kedaerah Du'an. Dan di daerah Du'an beliau banyak mengambil ilmu dari guru-guru yang ada di daerag Du'an hingga beliau kembali ke Tarim pada bulan Rajab tahun 1320 H.

Kemudian kembali ke Hadhramaut dan menetap guna memperbanyak ibadah, berkunjung kepada para sholihin atau tempat-tempat yang berkah dan majelis-majelis. Akhir umurnya beliau tinggal di Hadhramaut, mensupport ahli da'wah dalam penyebarannya dan terkadang mengumpulkan mereka dan semua orang terutama ketika terjadi kesusahan, kekeringan untuk membaca hadits Bukhori. Kemudian mengkhususkan bacaan tersebut pada bulan Ramadhan dan 6 hari dibulan Syawwal dan mengkhatamkannya dengan dihadiri pemimpin negeri, ulama-ulama dan orang banyak.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid mulai sakit tanggal 21 Muharram 1361 H. hingga wafat pada hari Sabtu 28 Muharram 1361 H. dan dikuburkan pada hari Minggu di Zanbal, Tarim di sholati oleh Al-Habib Abdullah bin Umar bin Ahmad Assyatiri.

Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid orang yang kasyaf dan mempunyai karomah serta nampak sesuatu pada dirinya faedah-faedah, berita keajaiban dan kelembutannya diantara keajaibannya adalah, tatkala beliau sakit diatas kasur, beliau mengatakan akan waktu meninggalnya, akan banjir di Tarim yang akan mencapai ketinggian sekian. Beliau memberi wasiat agar dimandikan dengan air tersebut karena air tersebut adalah air kautsar. Al-Habib Muhammad bin Hasan Aidid sering mengingat air kautsar. Sehingga beliau selalu menyuruh orang yang duduk disekelilingnya agar selalu membaca : " Allahu Nurussamaawaati wal ardh........sampai akhir ayat " , mulai saat itu beliau tidak mau minum dan makan kecuali susu. Al-Habib Muhammad bin Hasan meninggal pada waktu ia tentukan. Itu semua atas ketentuan Allah. Beliau dimandikan dengan air tersebut. Allah merahmatinya dengan rahmat orang yang dekat dengan Allah. Ditempatkan di Syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai dan semoga Allah memberikan kepada kita manfaatnya dan orang-orang yang sepertinya dari orang-orang yang sholeh. Amiin

google search