Perayaan tradisi maulid di Lembah Palu (Kota Palu, Ibukota Propinsi Sulawesi Tengah), mulai dikenal sejak Pertengahan Abad Ke 19 atau sekitar tahun 1840-an yang dibawa oleh para saudagar keturunan arab yang berasal dari Cikoang-Makassar (keturunan dari hadramaud) yang mulanya dipelopori oleh beberapa orang diantaranya : Habib Sayyid Bahrullah bin Atiqullah, Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid (di Palu lebih dikenal sebagai “Karaeng”) dan merupakan generasi ke 34 dan 35 yang ber-nasab-kan langsung pada Rasulullah SAW.
Pada awalnya masyarakat lembah palu dipengaruhi oleh tradisi “Palaka” yaitu sebuah tradisi berupa persembahan sesajian bersifat animisme dan politeisme yang berbentuk segi empat. Dengan keberadaan ini, maka para pendahulu pelopor perayaan maulid berusaha mengislamkan masyarakat lembah palu (yang sebelumnya pengislaman lembah palu dilakukan oleh Datokarama) melalui tradisi perayaan maulid sebagai sebuah sarana dakwah bagi siar Islam dan sekaligus mengagungkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, dengan jalan membentuk tempat atau sarana mauled berbentuk segi empat seperti Ka’bah dan menggunakan kubah seperti bentuk kubah Masjid, dan dalam pelaksanaannya dilakukan pembacaan pujian-pujian Sarafal A’nam sampai selesai.
Perayaan tradisi maulid pertama kali dilaksanakan di wilayah Kampung Baru yaitu tepatnya di Boyantongo dan Bungi dan awalnya diperkenalkan melalui kerabat-kerabat kerajaan atau Kekuasaan “Adat Patanggota” Lembah Palu, yang kemudian menyebar sampai ke Besusu, Pogego, Vunta (sekarang Tadulako), Talise, Sidondo, Dolo, Biromaru, Tawaeli, Pantoloan dan wilayah-wilayah Lainnya yang berada di Lembah Palu. Bahkan tradisi perayaan Maulid yang sekarang dikenal oleh Masyarakat Kaili sampai menyebar ke wilayah Pantai Timur Kabupaten Parigi Moutong, tepatnya di Kecamatan Parigi dan Kecamatan Ampibabo.
Meskipun perayaan Maulid ala Masyarakat Kaili hingga kini telah berkurang jumlahnya bila dibanding pada periode 70-an, tetapi hingga sekarang ini masih tetap hidup sebagai sebuah tradisi membesarkan hari kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi ini masih tetap dipertahankan oleh para keturunan habib-habib pelopor pendahulu perayaan mauled dan para keturunan murid-murid para habib-habib yang menyebarkan siar Islam tersebut, yang bertebaran di Lembah Palu dan Pantai Timur (wilayah Sulawesi Tengah).
Sebagai sebuah catatan akhir yang terpenting bagi kita semua adalah bagaimana usaha kita membesarkan siar Islam melalui Perayaan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang awal dan akhir zaman yaitu “Sayyidil Awalina wal Akhirina syahadati fiddun ya wamulukil ukhrah”
Sumber : Barahama Lasa Aidid, Abubakar Moh.Amin Aidid, Masyarakat Pengikut Karaeng dalam Perayaan Maulid Kota Palu, dan Keluarga Besar Habib Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al-Aidid Sulawesi Tengah
Sabtu, 21 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar